Oleh: Ferry Daud Liando (Dosen Kepemiluan Unsrat)
KAJIAN Ilmu Adminisrtasi Negara menjelaskan bahwa kebijakan publik yang berhasil tidak hanya dilihat bagaimana proses atau implementasi kebijakan berjalan dan apakah target kebijakan itu tercapai. Kajian utama kebijakan publik adalah apakah isu dalam rencana kebijakan sesuai kepentingan publik, apakah pembahasan dan perumusan kebijakan itu transparan, apakah kebijakan itu terimplementasi dengan baik, apakah tujuan kebijakan tercapai dan apakah kebijakan itu tidak melahirkan risiko atau dampak buruk.
Hingga saat ini masih amat jarang para penulis, ahli-ahli pemilu maupun pembuat kebijakan melakukan identifikasi atas dampak buruk yang terjadi setelah pilkada itu dilaksanakan lalu kemudian mengusulkan apa solusi pencegahan/mitigasi. Pelaksanaan pilkada selama ini masih kerap melahirkan resiko dan dampak buruk yang selama ini belum pernah dikaji, dianalisis dan kemudian melahirkan sebuah kebijakan pencegahan.
Pertama, pencegahan konflik sosial akibat polarisasi pemilih dan kelompok pemilih pasca pemilu. Pada pemilu 2019 lalu, Meski akhirnya Prabowo mendapatkan jabatan menteri dari rival politiknya Joko Widodo namun polarisasi masyarakat belum bisa diatasi. Sentimen agama masih terasa. Salah ucap dan salah sikap sedikit bisa menjadi persoalan besar. Pihak yang kalah belum sepenuhnya menerima kenyataan atas kekalahan itu sementara pihak yang menang tidak juga kalah genit memprovokasi.
Perbedaan pilihan berdampak pada kerusakan struktur dan kultur sosial. Pilkada Di beberapa daerah, keadaan demikian begitu terasa.
Kedua, instabilitas birokrasi pemerintahan pasca pilkada. Hal mencolok yang terjadi di daerah enam bulan pasca pelantikan kepala daerah adalah bongkar pasang pejabat dari tingkat eselon II hingga aparatur desa/kelurahan. Sebagian besar pejabat diganti mengisinya dengan aparatur yang dianggap memiliki jasa memenangkan kepala daerah.
Banyak pejabat eselon II harus diisi oleh pelaksana tugas atau plt. Pejabat itu tidak bisa didefinitifkan karena persyaratan adminisitrasi seperti kepangkatan dan sistem merit belum memenuhi. Mereka dipilih bukan karena kapasitas, prestasi dan reputasi, tapi karena faktor subjektivitas kepala daerah. Tentu keadaan ini mengakibatkan pelayanan publik menjadi buruk sebab disatu sisi pengangkatan plt dianggap belum mapan sementara kewenangan sangatlah terbatas.
Di tingkat desa, sebagian besar kepala desa diganti tanpa proses pemilihan. Kebijakan yang sedang berproses diganti dengan kebijkanan baru padahal anggaran sudah terpakai. Sarana prasarana dan infrastruktur seperti bangunan, logo dan papan nama pemerintah daerah, meja dan kursi berubah warna dicat sesuai warna parpol pengusung.
Ketiga, potensi kepala daerah melakukan tindakan korupsi akibat pemilihan berbiaya mahal. Pengakuan para tersangka korupsi terkait motif melakukan tindakan korupsi karena untuk mengembalikan uang pinjaman pada saat pencalonan. Mulai dari setoran ke parpol (candidate buying), belanja iklan dan baliho serta untuk menyuap pemilih. Tidak semua pelaku dapat tersentuh KPK, karena modus operandinya semakin canggih. Itulah sebabnya kondisi infrastruktur publik kebanyakan tidak layak dan pelayanan bantuan sosial tidak tersalurkan.
Keempat, konflik pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebagian besar pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerahnya berakhir tidak harmonis. Sepanjang periode menjabat keduanya konflik. Diusung parpol yang berbeda, pengangakatan pejabat serta pembagian fee proyek menjadi faktor penyebab. Konflik pasangan kepala daerah mengakibatkan tata kelola pemerintahan tidak berjalan dengan baik dan dampaknya adalah pelayanan publik yang buruk.
Kelima, maraknya ekspolitasi sumber daya alam. KPK mempublikasikan bahwa 82% pencalonana kepala daerah itu dibiayai sponsor. Sponsor selalu identik dengan kompensasi. Pihak sponsor selalu berusaha meraih keuntungan atas apa yang diberikannya. Mereka selalu menginginkan kemudahan perizinan usaha termasuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah.
Keenam,, tidak bersinerginya perencanaan pembangunan daerah. Fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak berjalan efektif akibat pembangkangan sejumlah bupati/walikota terhadap gubernur. Pembangkangan itu karena parpol pengusung gubernur dengan parpol pengusung bupati/walikota berbeda. Perencanaan yang tidak terkoordinasi menjadi salah satu penghambat pembagunan di daerah.
Ketujuh, tahapan pilakda kerap tidak ramah lingkungan seperti penggunaan kotak dan surat suarat, dokumen isian hasil pemungutan suara, perusakan pohon yang dipaku dengan baliho calon, pencetakan baliho berukuran besar baik yang gunakan calon atupun oleh penyelenggara dalam pelaksanaan berbagai kegiatan (sosialisasi dan bimtek) dan pembuangan kemasan botol plastik pada saat kampanye akbar. Keadaan ini akan sangat menggangu kelestarian lingkungan di kemudian hari. (***)
Komentar