A-TIMES.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dari saat ini tarif PPN sebesar 10%.
Hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kelima atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
“Tarif pajak pertambahan nilai adalah 12%,” demikian tertulis pada pasal 7 ayat 1. Kenaikan PPN ini tentu akan berdampak pada harga barang yang semakin mahal dibandingkan dengan tarif awal. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno.
“Kalau naik PPN ini akan menimbulkan effect price inflation (kenaikan harga),” ujar Benny.
Menurutnya, kenaikan harga barang ini akan kembali menurunkan daya beli masyarakat yang saat ini sudah mulai pulih. Penurunan daya beli ini akan membuat sisi konsumsi kembali melemah.
“Juga impact kepada pengusaha dari sisi produksi,” ujarnya.
Ekonom CORE Piter Abdullah juga menilai saat ini bukan waktu yang tepat bagi Pemerintah menaikkan PPN. Sebab, bisa menghambat pemulihan ekonomi yang sedang terjadi momentumnya.
“Jangan sampai kebijakan yang niatnya untuk menaikkan (penerimaan) pajak justru berdampak negatif ke proses pemulihan ekonomi yang kita dapat momentum,” ujarnya.
Sejalan dengan Benny, Piter menyebutkan kenaikan PPN justru akan memperlemah daya beli masyarakat yang bisa berdampak pada kecepatan proses pemulihan ekonomi.
Sebab, daya beli akan semakin turun dan tingkat konsumsi kembali melemah. Padahal konsumsi adalah sektor utama pendorong perekonomian dalam negeri.
“PPN harusnya dijadikan instrumen dorong konsumsi,” kata dia. Oleh karenanya, ia menilai yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah menurunkan PPN, bukan menaikkannya, sama halnya seperti penurunan PPnBM untuk kendaraan bermotor dan PPN sektor properti yang ditujukan untuk meningkatkan konsumsi di sektor tersebut.
“Ini harus konsep yang sama harus dilakukan bagaimana pemerintah dorong ekonomi dengan cara memberikan insentif dan salah satunya turunkan PPN, bukan kenaikan PPN,” jelasnya.
Ia pun berharap pemerintah bisa kembali mempertimbangkan kebijakan kenaikan PPN ini. Sebab, rencana ini sangat kontradiktif dengan tujuan pemerintah yang ingin meningkatkan konsumsi untuk memulihkan perekonomian nasional.
“Jadi jangan sampai ini dilakukan dan menjadi boomerang bagi kita karena bisa menghentikan momentum yang kita alami sekarang ini. Makanya, saya bilang tidak tepat dilakukan,” tegasnya.
Adapun pada ayat 3 RUU KUP ini, tarif PPN sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tarif PPN tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk selanjutkan akan dilakukan pembahasan pada penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Pada ayat 2 dijelaskan tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.
Pasal 7A ayat 1 menerangkan bahwa PPN dapat dikenakan dengan tarif berbeda dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 atau ayat 3, yakni atas:
1. penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu;
2. impor barang kena pajak tertentu; dan
3. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Selanjutnya pada Pasal 7A ayat 2 menerangkan tarif berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat 1 di atas dikenakan paling rendah 5% dan paling tinggi 25%. (***)
EDITOR: AMRAIN RAZAK
Layout: Syamsudin Hasan
Sumber: CNBC
Komentar