Sisi Ekonomi Konflik Rusia vs Ukraina

KONFLIK militer selalu menimbulkan dampak ekonomi bagi negara-negara yang sedang berkonflik. Dampak ekonomi itu bahkan bisa meluber (spill over) ke berbagai negara. Bergantung pada skala konflik. Sejak 20 tahun terakhir kita melihat muncul dan makin kuatnya modus baru dalam merespon konflik militer. Modus itu berupa penggunaan instrumen ekonomi secara agresif dalam penanganan konflik militer.

Dimasa lalu, instrumen ekonomi dipergunakan sebagai alat untuk mengatasi dampak ekonomi dari konflik militer. Namun sekarang, instrumen ekonomi telah pula dipergunakan sebagai alat serang, instrumen agresif, sebagai wahana perang (weaponized instrument). Itulah lakon yang sedang kita lihat terjadi dan dipergunakan dalam konflik antara Rusia dengan Ukraina. Terutama dipergunakan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya terhadap Rusia. Yang menarik adalah penggunaan instrumen ekonomi ini dilakukan secara massif. Yang apabila divisualisasikan dalam bentuk gelar perang, akan menyerupai gelar perang berskala “theater of war”.

Sepertinya, bagi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Penggunaan instrumen ekonomi secara massif dan sistematis merupakan keuntungan tersendiri. Dominasi Barat terhadap penguasaan infrastruktur ekonomi dunia, memungkinkan mereka untuk melancarkan serangan ekonomi secara efektif.

Menjadi makin efektif karena serangan ekonomi ini ditopang pula dengan diplomasi politik internasional yang sama massifnya. Iran, Syria, Venezuela dan Afghanistan adalah contoh-contohnya.Negara- negara ini menjadi pariah dalam sistem ekonomi dunia. Bagaimana dengan Rusia? apakah dapat dipersamakan dengan empat negara-negara diatas?. Inilah yang menarik. Rusia tidak saja sangat kuat dari segi militer dan diplomasi internasional.

Tapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang tidak bisa diremehkan. Rusia memiliki cadangan devisa lebih dari USD 630 miliar (empat kali cadangan devisa indonesia). Produsen Gas terbesar didunia. Negara yang bisa mengimbangi OPEC di bidang minyak. Negara daratan terbesar didunia dengan cadangan mineral yang melimpah. Dalam beberapa tahun terakhir sangat sukses dalam membentengi perekonomiannya dari berbagai goncangan ekonomi. Dan bahkan memiliki surplus perdagangan bulanan hingga USD 12 Miliar.

Untuk menghadapi semua ini, AS dan sekutu-sekutunya melancarkan serangan ekonomi yang sangat massif. Melibatkan semua arsenal perekonomian yang hingga saat ini masih di dominasi oleh Barat. Dalam catatan kami,ada empat instrumen yang paling menonjol yang dipergunakan oleh Barat.

Berita Terkait:  Babak Baru dari Spill Over Perang Rusia-Ukraina

Pertama, memasukkan Presiden Putin, menteri luar negeri dan menteri pertahanannya kedalam “targeted list” yang asset-asset finansialnya dibekukan. Termasuk juga dengan menambahkan sejumlah individu baik dari kalangan pemerintahan maupun swasta yang dianggap penting dan memiliki koneksi ke Putin.

Secara finansial, bagi Presiden putin dan menteri-menterinya, sangsi ini mungkin saja tidak terlalu berdampak bagi mereka. Tapi pengenaan sanksi ini bagi seorang kepala negara dari suatu negara sebesar dan sepenting Rusia merupakan pukulan berat bagi integritas kepemimpinan Rusia,sekurang-kurangnya dalam pergaulan dunia. Sanksi ini sungguh mempermalukan. Tiba- tiba saja, status Putin secara finansial dipersamakan dengan Presiden Syria Bashar Al Assad dan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro.

Tidak berhenti disitu, kali ini AS dan sekutu-sekutunya bahkan bergerak lebih jauh lagi. Dengan menggunakan instrumen keuangan yang dapat dikatakan sebagai Bom Atom Keuangan. Yaitu dengan membekukan aset cadangan devisa Rusia. Ini terutama dilakukan oleh negara-negara eropa ( EU ). Amerika Serikat sendiri juga telah pula melarang transaksi dengan Bank Sentral Rusia. 47 % cadangan devisa Rusia dalam bentuk cadangan Euro dan Dollar. 32% dalam bentuk Euro dan 15% dalam bentuk US Dollar.

Hampir separuh dari cadangan senilai USD 640 miliar. Pembekuan ini sangat mempersempit kemampuan Rusia dalam mengatasi gejolak ekonomi dalam negerinya dan juga, dalam membiayai kapabilitas militernya. Sebagai gantinya, negara- negara Barat berani mengkompensasikan USD 68 Miliar kewajiban Luar Negeri Rusia untuk gagal bayar (default). Yang Ketiga, AS dan sekutu-sekutunya juga mengeluarkan (kick-out) dari sistem SWIFT (Society for Worldwide of Interbank Telecomunication).

Sistem ini merupakan sistem kritikal dalam sistem pembayaran dunia, terutama bagi perbankan. SWIFT adalah sistem dominan dan monopolistik yang dipergunakan oleh institusi keuangan dalam memampukan terjadinya transaksi keuangan global secara cepat dan efisien. SWIFT sistem seharusnya bersifat netral. Dan selayaknya tidak dipergunakan untuk suatu alasan diluar tujuannya.

Namun sistem ini sepenuhnya didalam kendali Amerika Serikat. Sekalipun namanya terkesan dimiliki oleh banyak pihak. Karena sifatnya yang sangat substansial bagi sistem keuangan dunia, dan bisa dikatakan merupakan pembuluh arteri utama dalam interaksi perbankan dunia, maka dampak penggunaannya ini oleh banyak pihak dipersamakan dengan bom Nuklir.

Berita Terkait:  ARAH DPD IMM SULUT, PERTEGAS INTEGRITAS DAN KOLABORASI

Jauh sebelum konflik Rusia dengan Ukraina, memang sudah ada upaya-upaya alternatif dari sejumlah negara untuk mengurangi dampak penguasaan monopolistik AS Terhadap SWIFT. China, Rusia dan Uni Eropa sendiri sudah mengupayakan sistem tersendiri bagi pengunaan denominasi mata uang mereka dalam perekonomian dunia. Namun karena dominasi Dollar masih samgat kuat sebagai Mata Uang Dunia, yang juga merupakan dasar layanan sistem SWIFT maka upaya-upaya dari negara-negara tersebut sejauh ini masih samgat sedikit pengaruhnya.

Dalam tulisan kami beberapa waktu lalu, kami sudah mengulas hal ini sebagai salah satu ranah kompetisi kontemporer dalam dinamika persaingan ekonomi dunia. Respon Presiden Putin terhadap penggunaan dua instrumen ini, pembekuan cadangan devisa dan pengeluaran (kick out) dari sistem SWIFT, juga sama kerasnya. Presiden Putin memerintahkan kepada militernya untuk menyiagakan Arsenal Nuklirnya secara maksimum, atau dengan kata lain “ siaga satu” nuklir.

Rusia adalah penyimpan senjata nuklir terbesar dunia. Diperkirakan tidak kurang dari 6000 hulu ledak nuklirnya yang didukung oleh teknologi balistik yang dapat menjangkau seluruh belahan bumi. Tidak berhenti disitu, AS dan sekutu-sekutunya tidak hanya melibatkan instrumen yang bersifat negara, tapi juga melibatkan pihak swasta.

Perusahaan-perusahaan besar pun terlibat. Deretan raksasa bisnis global secara berturut-turut, ikut melikuidasi hubungan bisnisnya dengan Rusia. Shell, BP, JP Morgan, Mc Kinsey, Blackstone, Norway SWF dan banyak lagi telah mengumumkan pembekuan hubungan bisnis dengan Rusia. Kesemua tindakan ekonomi ini, mengisaratkan bahwa perekonomian Rusia tidak lagi diterima dalam sistem perekonomian negara-negara Barat. Apakah sanksi-sanksi ini akan juga meluber (spill over) kepada negara-negara diluar koalisi Barat. Itu pertanyaan menarik berikutnya yang perlu kita simak. Yang pasti, AS dan sekutu-sekutunya telah mem-pariah-kan perekonomian Rusia. lets see. Wallahu ‘alam. (*)

(Penulis adalah Pelaku Usaha, Mantan Anggota DPR RI 2014-2019)

Komentar