A-TIMES.ID, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta keterlaluan karena memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari hingga 6 tahun penjara.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana bahkan mengatakan vonis ini merusak akal sehat.
“ICW menilai putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari sudah benar-benar keterlaluan,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Senin (14/6).
“Betapa tidak, Pinangki semestinya dihukum lebih berat, 20 tahun atau seumur hidup, bukan justru dipangkas dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara,” sambungnya.
Kurnia mengingatkan, bahwa Pinangki melakukan kejahatan saat menyandang status sebagai jaksa yang merupakan penegak hukum. Hal ini, kata Kurnia, seharusnya merupakan alasan utama pemberat hukuman.
Selain itu, Pinangki juga melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Dengan kombinasi ini saja, kata dia, publik sudah bisa mengatakan bahwa putusan banding Pinangki telah merusak akal sehat publik.
Kurnia mengatakan, putusan PT DKI Jakarta ini memperlihatkan secara jelas bahwa lembaga kekuasaan kehakiman kian tidak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri mengatakan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Putusan ini sangat mencederai rasa keadilan,” kata Bivitri dikutip dari Antara, Selasa (15/6).
Ia mengatakan, masyarakat luas telah mengetahui bahwa sosok Jaksa Pinangki memiliki peran penting dan signifikan dalam kasus yang menjerat Djoko Tjandra.
Selain adanya pengurangan masa hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun, alasan atau pertimbangan yang disampaikan hakim juga turut memperdalam rasa kekecewaan publik terhadap lembaga peradilan.
Menurut dia, pertimbangan perempuan yang membuat hukuman Jaksa Pinangki dipotong hingga 6 tahun adalah alasan yang dicari-cari atau tidak masuk akal.
Bivitri juga membandingkan kasus korupsi yang menjerat mantan kader Partai Demokrat Angelina Sondakh namun tidak mendapat keringanan sebagaimana Jaksa Pinangki.
“Kalau pun tidak kasus korupsi, ada kasus Baiq Nuril namun tidak mendapat keringanan sebagaimana Jaksa Pinangki,” kata pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera tersebut.
Justru karena Pinangki merupakan seorang jaksa seharusnya hukuman yang dijatuhkan hendaknya jauh lebih berat bukan malah dikurangi.
Terkait dakwaan penerimaan suap, Jaksa Pinangki dinilai terbukti menerima USD 500 ribu atau sekitar Rp 7,3 miliar dari Djoko Tjandra. Ia menerima USD 450 ribu atau sekitar Rp 6,6 miliar, sementara sisanya diberikan kepada Anita Kolopaking.
Uang itu diberikan agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi 2 tahun penjara di kasus cessie Bank Bali dengan pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung.
Hakim banding menilai bahwa Jaksa Pinangki terbukti dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tipikor. Ini merupakan dakwaan subsider.
Kedua, Pinangki dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai USD 375.279 atau sekitar Rp 5.253.905.036. Uang tersebut merupakan bagian dari suap yang diberikan Djoko Tjandra sebesar USD 450 ribu.
Uang itu digunakan Jaksa Pinangki antara lain untuk membeli mobil BMW X5, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan di AS, pembayaran dokter home care, pembayaran sewa apartemen, dan pembayaran kartu kredit.
Hakim menilai Jaksa Pinangki terbukti melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam dakwaan itu.
Ketiga, Jaksa Pinangki dinilai melakukan pemufakatan jahat bersama Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejaksaan Agung dan MA senilai USD 10 juta. (***)
Editor: Idham Malewa
Layout: Syamsudin Hasan
Sumber: kumparan
Komentar