“Dissenting Opinion Dalam Putusan MK No. 90/PUU-XVIII/2020”

Oleh : Muazidan Takalamingan

DISSENTING opinion untuk pertama kalinya memiliki kekuatan hukum ketika diatur dalam UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998.

Dilihat dalam perspektif historical mengenai dissenting opinion di Indonesia untuk pertama kalinya di branding pada pengadilan niaga, namun kondisi saat ini dissenting opinion memiliki ruangnya tersendiri untuk pengadilan-pengadilan lain, dimana didalamnya juga Mahkamah Konstitusi RI mengenai pengujian formil dan materiil suatu undang-undang.

Sebagian besar dissenting opinion secara peluang sangat rentan terjadi ketika MKRI dihadapkan dengan perkara yang bersifat dalam 2(dua) hal yaitu bersifat politik dan penegakan hukum.

Dapat dilihat bahwa seringnya terjadi pendapat hakim yang disenter ketika memutusakan UU tentang Pemilu yang terdapat dissenting opinion, selanjutnya yang bersifat penegakan hukum dapat diketahui ketika terjadi Judicial Review tentang UU KPK, RUU KUHP dan lainnya, dimana termasuk juga didalamnya ada dissenting opinion terhadap pengujian akan Perppu.

Dalam perspektif perbandingan hukum, disebutkan bahwa dissenting opinion merupakan terminologi dan substansi dari bagian hukum Anglo Saxon, seperti Amerika dan Kerajaan Inggris dan menjadi bagian dari pendapat hukum itu senditi (legal opinion).

Untuk menjadi pembanding, hakikatnya pendapat hukum (legal opinion) dapat terdiri dari atas:

a. Judicial opinion adalah dalam perkara bidang pidana maupun bidang perdata atas pendapat hakim dalam memberikan pertimbangan dalam putusan suatu perkara.

b. Majority opinion adalah mayoritas hakim disuatu pengadilan menyepakati terhadap pendapat atau pandangan salah seorang hakim.

c. Dissenting opinion adalah pendapat hakim yang berbeda secara substansial dengan hakim lainnya yang dimuat secara tertulis dalam putusan yang dikeluarkan.

d. Concurring opinion adalah pendapat hakim yang sama dengan mayoritas hakim lainnya namun memiliki perbedaan dalam hal rasionalitas atau alasannya.

e. Plurality opinion adalah pendapat yang memiliki ciri khas lebih dari satu atau jamak dimana pendaat ini berada di suatu pengadilan dan diterima oleh mayoritas pengadilan lainnya.

f. Memorandum opinion adalah note yang diberikan oleh peradilan yang kewenangannya lebih tinggi untuk diberikan kepada pengadilan yang lebih rendah.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia Dissenting Opinion diberikan legitimasi nya dalam Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman yang berbunyi:

“Dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa menjadi bagian yang tidak terpisahkan” Kekuatan Hukum Mengikat Dissenting Opinion Dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XVIII/2020 Berbicara mengenai putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberikan Dissenting Opinion berangkat daripada sebuah asas yang dikenal yakni Hakim tidak boleh menolak perkara (Ius Coria Novit) dan asas hakim tidak mengadili dirinya sendiri.

Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah masyarakat, MK bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab, ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada.

MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”. Fungsi MK yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga adalah pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution, as well as guardian of the process of democratization).

Selain itu, keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil dan merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 bahwa “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD”, pasal tersebut sudah jelas bahwa MK memiliki kewenangan pengujian undang-undang.
Namun, seiring berjalannya waktu muncul pro-kontra tentang kewenangan MK dalam menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya.
Pro-kontra ini diawali dengan putusan MK No.004/PUU-I/2003 perihal pengujian Undang-undang No.14 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa MK berwenang menguji undang-undang tersebut dan mengenyampingkan Pasal 50 UU MK No.24/2003.
Berawal dari putusan tersebut, Putusan MK No. 066/PUUII/2004 menjadi langkah awal “keberanian” MK dalam menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya, sebab putusan tersebut menyatakan batal Pasal 50 UU MK No.24/2003 “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945”.
Perkembangan selanjutnya, MK justru lebih berani menguji dan membatalkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan eksistensinya, bahkan putusannya sering kali menimbulkan kontrovensi di kalangan masyarakat.
Beberapa putusan, misalnya putusan No.005/PUU-IV/2006 perihal pengujian UU Komisi Yudisial No.22/2004, putusan ini menimbulkan problem ditengah masyarakat, karena membatalkan beberapa pasal yang urgen terkait dengan pengawasan hakim MK.
Maka disini penulis akan mencoba untuk menganalisa perihal Putusan MK Nomor 90/PUU-XVIII/2020, yang dimana terjadi sebuah fenomenal putusan yang kontroversial dalam bernegara dimana, pertama MK kembali menguji atas dirinya sendiri dan dissenting opinion dari setiap Hakim MK.
Pemohon mengajukan pengujian formil dan materil atas UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU24 Tahun 2003 Tentang MK.
1). Dalam permohonan judicial review terhadap UU MK tersebut secara formil Pemohon menggangap secara konstitusional dirugikan atas pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2020.
adapun alasan berikutnya ialah bertentangan dengan ketentuan mengenai tata cara dan asas pembentukan UU yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
namun sayangnya dalam putusan MK tersebut secara mayoritas Hakim MK menegaskan “Bahwa Undang-Undang a quo telah memenuhi kriteria daftar kumulatif terbuka dan perubahan Undang-Undang a quo merupakan tindak lanjut terhadap putusan-putusan MK, maka tidak relevan lagi apabila proses pembahasan RUU tersebut masih dipersyaratkan adanya pembahasan (partisipasi publik).
Namun sayangnya dengan berdasarkan uraian yang termaktub dalam pokok permohonan tersebut MK menyatakan secara tegas dalil pemohonan Pemohon dalam pengujian formil UU 7/2020 a  quo di terima legal standing nya namun tidak diterima secara keseluruhan atau tidak beralasan menurut hukum”.
Berangkat dari itu salah satu Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada, “Bahwa ini bukan kebutuhan MK, masa MK membahas usia padahal kan MK berbicara mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” ucap, Zainal Arifin Mochtar dalam pernyataan beliau di akun youtube nya berkomentar mengenai putusan mk dalam pengujian formil.
Dissenting Opinion dalam pokok permohonan pengujian formil, pun terjadi ketika salah satu hakim MK yakni Wahiduddin Adams menyebutkan, “ Setelah mencermati pokok dan esensi permohonan, keterangan pembentuk UU, serta seluruh dinamika persidangan bahwa pengujian formil pembentukan UU a quo memang terindikasi kuat dilakukan secara tergesa-gesa dan memiliki kekurangan serta sulit terhindar dari tendensi yang cukup beralasan dengan tidak adanya urgemsi yang nyata”.
Bahkan ditambahkan oleh salah satu Hakim MK Arif Hidayat bahwa, “Proses pembahasan bersama hanya memakan waktu 3 hari jelas diluar nalar wajar dan bertentangan dengan UUD NRI 1945”. Ucap Arif Hidayat dalam Dissenting Opinion di Putusan MK yang serupa yakni Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020.
Dalam permohonan judicial review terhadap UU MK tersebut secara materiil pemohon Selanjutnya dalam permohonan Pengujian secara Materil ada beberapa pasal yang menjadi objek pengujian, namun secara hemat penulis akan lebih spesifik terhadap Pasal 22 dan 87 huruf B, yang dimana pemohon menjelaskan dalam permohonan pengujian materii
l menyatakan Pasal 22 UU Nomor 7 Tahun 2020 bertentangan dengan ketentua Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3)  UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai masa jabatan hakim konstitusi selama 5 Tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya, maka dikarenakan konteks materi muatan Pasal 22 UU MK memiliki keterkaitan erat dengan Pasal 87 huruf b UU MK menjadi tidak relevan lagi.
Dengan dihapusnya ketentuan pasal 22 UU MK tersebut, secara substansi mengubah sistem periodisasi menjadi sistem pensiun yang dimulai menjabat pada usia 55 tahun dan berakhir 70 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) dan pasal 23 ayat (1) huruf c. Berikut merupakan analisa penulis dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 87 huruf b yang menjadi objek pengujian UU MK tersebut.
Pemohon mendalilkan kerugian konstitusionalnya, pertama, ketika pasal 22 dihapuskan. Dalam permohonannya menjelaskan bahwa, Dihapusnya masa jabatan hakim konstitusi telah menghilangkan jedah bagi hakim konstitusi untuk diuji kelayakan dan kepatutan fit and proper test lewat proses pemilihan untuk melanjutkan masa jabatan pada periode kedua yang juga berfungsi sebagai ruang pengawasan dan evaluasi eksternal terhadap pelaksanaan tugas  dan wewenang selama menjabat pada periode pertama.
Selanjutnya pemohon menjelaskan bahwa penghapusan pasal 22  tidak menjalankan prinsip-prinsip konstitusionalisme dengan adanya pembatasan kekuasaan dan tidak mencerminkan prinsip konstitusionalisme yang aktif.
kedua, bahwa ketentuan pasal 87 huruf b memberikan keuntungan kepada hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan karena langsung meneruskan jabatannya sampai pada usia 70 tahun salama keseluruhan masa tugasnya 15 tahun,
walau sudah menjalani periode kedua jabatannya serta dapat langsung menjabat tanpa melalui proses seleksi kembali, padahal hakim MK yang menjabat sekarang di angkat berdasarkan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang masih mengatur masa jabatan hakim konstitusi 5 tahun dan dapat kembali dipilih hanya untuk satu kali.
selanjutnya pasal 87 huruf b  dapat memberikan ruang intervensi/pengaruh kepada indepedensi personal hakim konstitusi karena membuka ruang yang lebar untuk tersandera dengan kepentingan politik pembentuk UU MK yang memberika keuntungan jabatan kepada hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK ini di undangkan dengan membuka potensi konflik kepentingan conflict of interest antara hakim konstitusi yang sedang menjabat dan terakhir ialah berdampak pada terganggunya indepedensi dan imparsialitas hakim konstitusi agar kita sebagai warga Negara mendapatkan hakim konstitusi yang independen dan imparisal.
Namun sayangnya mayoritas hakim memutuskan dalam pengujian materiil dinyatakan permohonan tidak dapat diterima dan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
Dissenting Opinion pun hadir dalam pengujian materiil kedua pasal tersebut, yakni dari salah satu hakim MK bernama Saldi Isra bahwa, “Pengujian secara materiil adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian”.
Hal tersebut ditambahkan oleh hakim MK yang lain yaitu Wahiduddin Adams, menyebutkan. “Bahwa pemohon melakukan judicial review secara materiil bukan berdasarkan untuk dapat mencalonkan diri sebagai hakim MK dibatasi.
Namun itu, merupakan semangat terhadap kecintaan dan cita-cita pemohon  sebagai warga Negara untuk tetap menjaga independensi dan imparsialitas hakim MK sebagai the guardian of the constitution dan menjamin terwujudnya keberlangsungan supremasi konstitusi secara ajeg.
Bahkan beliau menambahkan dia merasa khawatir jika tiap-tiap hakim konstitusi memeriksa, mengadili dan memputus perkara a quo dalam pemahaman bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) hanya karena pemohon sama sekali tidak mengalami kerugian konstitusional dari berlakunya Undang-Undang a quo maka jangan-jangan yang kita periksa, adili dan putus terhadap perkara a quo adalah kepentingan personal diri sendiri dan bukan kepentingan hukum atau kerugian konstitusional pemohon.
ada tambahan dalam dissenting opinion Wahiduddin Adams yang paling menarik untuk dibahas ketika beliau mengatakan bahwa Pasal 87 huruf b Undang-Undang a quo  bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945  dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dikarenakan pihak yang terkena dampak (in casu) sebagian besar hakim konstitusi yang ada saat ini sama sekali “tidak sepenuhnya dirugikan”.
Melainkan hanya sekedar “tidak mendapatkan keuntungan semestinya” oleh karena itu dengan menghindari “keuntungan yang tidak semestinya”.
Maka justru disinilah di uji sebab seorang negarawan seorang hakim konstitusi perlu memikirkan nasib generasi yang akan dating bukan sekedar larut dalam kepentingan dan keinginan sesaat dan menegaskan bahwa beliau berpendapat seharusnya Mahkamah Mengabulkan Permohonan pemohon.
Dengan beberapa uraian di atas kita bisa melihat bahwa terjadinya sebuah pergesaran kedudukan daripada Mahkamah Konstitusi yang jauh lebih mementingkan lembaga sendiri daripada melihat perspektif yang lebih luas dalam berbangsa dan bernegara, bahkan menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara tertinggi mempunyai kewenangan yang sangat absolut dan sebagai Mahkamah yang hanya mementingan kepentingannya daripada kepentingan bersama, maka sangat layak dikatakan sebagai Mahkamah Kepentingan bukan lagi Mahkamah Konstitusi.(***)
Berita Terkait:  ARAH DPD IMM SULUT, PERTEGAS INTEGRITAS DAN KOLABORASI

Komentar

Rekomendasi Berita