Pak Wali Andrei Ang, Kasihanilah Mereka!

oleh:

Tauhid Arief (jurnalis senior)

A-Times.id- Persoalan kemacetan yang menimbulkan kesemrawutan dan masalah sampah, adalah dua hal yang sering muncul di perkotaan. Ini berlaku hampir di semua kota di dunia, tidak terkecuali Manado.

Manado yang sempat dikenal dengan slogannya “Kota Bersehati” ini, juga sering menghadapi keruwetan penanganan sampah.

Misalnya, armada sampah yang harus antri berjam-jam hanya karena alat besar -dozer dan excavator– sering macet alias rusak. Sama seperti yang muncul belakangan ini.

Akibat dari kemacetan alat berat itu, armada motor sampah ikut terhambat karena harus menunggu armada truk sampah di SPA (Stasiun Peralihan Sampah) yang ada di sejumlah titik di Kota Manado.

Meski penanganan sampah sudah ada sejak Kota Manado terbentuk, tapi kejadian ini.Terjadi berulang-ulang.

Mengapa hal yang sama tidak pernah habis? Kalau pertanyaan ini ditanyakan ke Pemkot atau instansi terkait, jawabannya pun klise. Ada saja alasan dan argumentasinya.

Manajemen penanganan sampah sepertinya memang perlu dicarikan format yang pas. Muncul pertanyaan lagi, apakah ada niatan dari walikota Andrei Angouw yang sudah hampi 5 tahun memimpin kota ini untuk serius mencari solusinya? Tentu hanya Walikota yang tahu.

Tapi, bila melihat sisi lain, perhatian Pemkot, khususnya terhadap pekerja/ buruh sampah, bisa saja muncul kesan setengah hati.

Buruh sampah, baik yang mengoperasikan kendaraan roda tiga maupun sopir truk pengangkut sampah, dalam operasional sehari-hari, harus berusaha mencari BBM sendiri. Mereka kadang berhutang untuk mengoperasikan kendaraan selama sebulan. Itu lantaran pemkot menerapkan sistem reumbersement. (pakai uang pribadi diganti belakangan).
Belum lagi permintaan suku-cadang yang berbelit.

Berita Terkait:  Era Rektor Sompie, UNSRAT Ketambahan Delapan Guru Besar

Begitu pun hak hak buruh sampah yang terkesan terabaikan dari kelayakan di era kepemimpinan Andrei Angouw.

Misalnya APK (Alat Perlengkapan Kerja). Para buruh ini tak dilengkapi Mantel hujan atau sepatu both khusus buruh sampah.

Apalagi terkait kesejahteraan. Para buruh sampah menerima upah jauh dari UMP. Mereka juga tak pernah merasakan namanya THR (Tunjangan Hari Raya).

Meski sebagian besar ada yang sudah mengabdi lebih dari 10 tahun, bahkan di atas 20 tahun, tapi perlakuan terhadap mereka menganut sistem ‘sama rata, sama rasa”.

Tak ada penghargaan yang diperoleh dari Pemkot. Dalam artian, mereka yang bekerja 20 tahun dengan masa kerja 1 tahun, sama-sama menerima besarnya upah Tak ada perbedaan.

Di Manado sendiri UMP sudah berada di kisaran Rp3.8 juta. Yang diterima pekerja sampah, hanya Rp2,6. Kecuali sopir truck sampah yang menerima upah Rp2,8 juta. Jauh dari kelayakan hidup.

Saat Walikota sebelumnya -Vecky Lumentut– upah mereka mengikuti UMP, tapi sejak walikota Andrei Angouw, besarnya malah diturunkan. mereka masih merasakan upah Rp3,2 juta sampai akhir masa walikota sebelumnya. Tapi saat, kepemimpinan Andrei, upah mereka justru turun ke Rp2,6 juta – Rp2,8 juta. Ini tentu terasa janggal, karena setiap tahun UMP naik. Mereka justru mengalami penurunan upah.

Lantas apakah pekerja sampah ini tidak terakomodasi dalam aturan tenaga-kerja, sehingga mereka tak berhak mendapatkan THR di tengah merayakan peringatan sakral Natah 25 Desember?

Anehnya lagi, para buruh sampah ini terikat kontrak setiap 3 bulan di Kantor Kecamatan. Ini jauh dari jalur aturan ketenagakerjaan.

Berita Terkait:  GUBERNUR OD : JUMAT (ESOK) ROLLING PEJABAT ESELON DUA

Padahal, dalam aturan ketenaga kerjaan, biasanya kontrak itu hanya diberlakukan pada pekerja baru, dan diberlakukan sebanyak tiga kali berturut-turut. Selepas itu biasanya diteruskan atau diberhentikan.
Bila tidak diperpanjang, pilihannya diberhentikan dengan beragam alasan. Kalau pun diperpanjang, pekerja biasanya diangkat sebagai pekerja tetap atau meneken kontrak jangka panjang.

Hal ini tidak berlaku bagi buruh sampah. Pekerja baru dengan pekerja yang sudah mengabdi lebih dari 10 tahun, tetap diatur dalam perjanjian kerja setiap tiga bulan.

Karena itu,
jangan tanya soal masa depan buruh sampah ini. Tak ada uang penghargaan atau tunjangan hari tua. Kalau sudah mengabdi 20 tahun dan tidak mampu bekerja karena sakit, sepertinya dianggap “salah sendiri”. Berhenti karenanya kontrak tak diperpanjang, tanpa mendapatkan penghargaan apa apa.

Mereka yang sehari-hari bekerja dengan bau, kotor dan dingin –apalagi bila musim hujan–, tak punya kekuatan. tak ada nilai tawar. Mereka takut protes karena khawatir kontrak tak diperpanjang. Cara halus memberhentikan pekerja sampah yang jauh dari nilai-nila bermartabat.

Anggota dewan yang diharapkan bisa ikut peduli, pun cuek bebek. Apakah karena eksistensi mereka tidak memiliki kontribusi apa apa?

Mereka sama sekali tak ada daya dan upaya untuk memprotes ketidak-adilan ini. Mereka hanya berharap belas kasihan dari Walikota Andrei Angouw. Siapa tahu, satu dua hari ini tergerak hatinya mengeluarkan uang THR. Biar perayaan Natal lebih ” berasa”. (*)

Komentar