Catatan:
Abid Takalamingan SSos, MH
A-TIMES, AKHIR akhir ini kata politik identitas jamak disebut. Yang menyebut kalangan politisi. Tujuannya mendown grade personal lawan politik.
Padahal akar kata identitas adalah jati diri seseorang. Bisa juga jati diri sebuah komunitas. Jati diri ini kata lain ciri khas pembeda yang melekat pada manusia.
Lama kelamaan identitas dipolitisasi. Diperkosa maknanya.Diperluas menjadi asal daerah. Tempat kelahiran. Tempat tinggal. Hubungan perkawinan, istri atau suami.
Kalau itu yang dimaksud identitas adalah etnis maka Saya adalah anak pulau karena ibu dan bapak saya ditakdirkan Tuhan berasal dari Nusa Utara.
Saya juga putra Bolaang Mongondow lantaran saya anak gunung, ditakdirkan Tuhan lahir di Desa Lalow (Lolak dua) Kabupaten Bolaang Mongondow.
Saya juga anak Metropolitan karena Tuhan mentakdirkan saya untuk tumbuh, besar dewasa di Kota Manado.
Saya juga Minahasa, karena istri yang mendampingi saya adalah anak Minahasa (Tou Toliang) marga Masengi.
Semua identitas itu menjadi aset saya, yang akan digunakan untuk tujuan memberi kemaslahatan kepada semua orang.
Hadits Rasulullah Muhammad SAW mengatakan “Khairunnas Anfauhum Linnas. (Sebaik baik manusia adalah mereka yang bermanfaat untuk orang sekitar)
Tujuan besar saya dilindungi Undang-Undang Dasar 1945. Menjadi fundasi berpolitik sebagai ikhtiar untuk menjadi wakil daerah pada 2024 melalui instrument Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI).
Sangat jelas dan terang benderang. Sangat logis, etis, dan legal-konstitusional, kalau pilihan saya menjadi DPD RI untuk mengawal kepentingan Sulut. Bukan wakili kepentingan agama, etnik atau pun golongan tertentu.
Mission of sacre saya untuk perjuangkan hak orang Sulut, telah memantik kemarahan sekelompok orang. Memancing rasa takut sejumlah elit. Yang kemudian mereka reduksi begitu dangkal bahwa saya sebagai orang yang “membelah suara”. Saya bertanya suara siapa yang dibelah?
Wacana membelah suara hanyalah gambaran ketakutan akut yang tak bisa dikontrol. Meminjam Bahasa Rocky Gerung “dungu”. Nah supaya tidak terbelah jika ikuti alam pikiran mereka, bagaimana supaya tidak terbelah, mundur saja, baku ganti jo dulu. Khan ngoni sudah. Hehe.
Saya ingin merekonstruksi cara pandang masyarakat tentang DPD, DPR maupun DPRD. Wadah wadah demokrasi itu adalah alat perjuangan. Bukan alat untuk pengisi perut. Menjadi DPD alat berjuang untuk kepentingan daerah, Kalau untuk mengisi perut pasar tempatnya. Bukan di DPD.
Kita sama sama tahu, menjual merek identitas sangat pasaran. Cepat menjadi spiral ke ruang publik. Apalagi yang didagangkan agama dengan segala terminologi yang menyertainya. Variabel agama dikemas sebagai komoditi untuk mencapai ambisi pribadi. Agama itu terlalu agung dan terlalu mulia untuk diobral murah.
Padahal agama apalagi Islam tidak pantas dijadikan perkakas politik. Islam itu omnipresent atau hadir di mana mana kata Bachtiar Effendy dalam buku Islam dan Negara (dikembangkan dari desertasi Islam dan Negara , Transformasi Politik Islam dan di Ohio State University, AS.
Ada politisi yang sengaja menyeret umat ke lorong gelap kekuasaan. Memanipulasi kepolosan mereka dan ketidaktahuan terhadap pribadi yang tukang membual.
Yang bersangkutan selalu jadikan pendukung pendorong mobil mogok, hanya ditengok lima tahun sekali lalu ditinggalkan. Kerap mengumbar janji, akan tetapi banyak nihil realisasi.
Bisa jadi kesuksesan memanipulasi kesadaran umat lantaran kepolosan umat dan wawasan yang terbatas terhadap agama. Keterbatasan itu kata Dr Fazrul Rahman (1966) dalam bukunya Islam disebut dipengaruhi sejumlah faktor . Yaitu situasi sosiologis, kultural, dan intelektual. Dalam konteks politisasi Islam ketiga factor itu sangat memengaruhi.
Berbuat untuk umat lihat trackrecord bukan claim kita yang paling Amanah.
Ada fakta yang menyeruak yang tidak bisa kita tutupi. Bisa jadi fakta itu ada di rumah yang kita tempati. Ada di kantor yang kita bekerja, atau di kampung yang kita tinggali.
Karena itu terhadap kekuasaan bersikaplah biasa-biasa saja. Bisa datang dan pergi kapan saja sesuai kehendak Allah.
Sehingga ketika Allah memindahkan nikmat kekuasaan dan harta ke orang lain, tidak ada rasa sakit dan dendam.
Kekuasaan harus kita taruh di telapak tangan jangan di hati. Kalau dia di tangan tidak akan terasa sakit jika terlepas dari genggaman. Tapi kalau di hati, akan membuat sakit dan memang kaedahnya begitu.
Jangan pernah merasa takut ketika kekuasaan itu berpindah tangan. Karena negara kita menganut system demokrasi. Setiap lima tahun dipergilirkan. Diperebutkan. Setiap orang diuji untuk mendapatkan legitimasi dalam kekuasaan.
Jika masih dipercaya pasti dipertahankan dan jika tidak pasti diganti oleh rakyat dengan izin Allah.(*)
Komentar