MALAM itu ibu kota Manado agak hening. Waktu berputar di angka sekira pukul 02.25 dini hari. Semesta amat cerah. Bintang dan planet saling bercanda di Samudra langit. Bentuk bulan di ufuk timur makin lancip dan ramping melengkung, mirip bulan sabit. Ini penanda Ramadhan berada di ujung batas perpisahan.
Namun di keheningan akhir malam ke 25 itu, para penghuni metalangit sedang gelisah. Sayup sayup terdengar di lintaran langit pertama ada diskusi panjang. Tepatnya bukan diskusi, tapi perdebatan sesama malaikat Allah.
Mereka terbelah dua kelompok. Masing masing dengan tugasnya. Tugas utama membawa catatan ke arsy. Tiap malam selalu sama. Mereka amat amat senang diberi tugas saat Ramadhan. Sejak Subuh makhluk Allah yang tidak diberi nafsu ini menyebar di semua artefak. Menyelinap di semua sudut. Di Ramadhan mereka amat senang, lantaran setiap saat seluruh dunia tanpa jeda membacakan surat lailatul qadar.
Adu debat masih berlangsung. Dengan pendapat masing-masing.
“Wahai saudara-saudara, apalagi yang kalian tunggu. Kita harus patuh dengan waktu. Apakah kalian tidak takut murka Allah?” sentil salah satu malaikat pencatat perbuatan tidak baik manusia yang berpuasa.
Para malaikat pencatat amal kebaikan Ramadhan berupaya tenang. Meski sebenarnya batin mereka gelisah. Ada yang sedikit kecewa dengan kalimat bergumam. Tapi, sebagian kelompok pencatat kebaikan yakin yang mereka nantikan akan tampak.
25 menit sudah berlalu. Posisi rasi bintang telah di angka 02.50. Masih belum ada tanda-tanda. Padahal waktu mereka hanya sampai pukul 03.00. Lewat dari itu, makhluk bumi lain mulai siuman.
Saat menit ke 02.51, sayup alunan suara seorang pria menyeruak. Nadanya berirama mirip simpony Mozart. Lebih indah dari dawai biola. Dari pakaiannya tidak ada tanda kesalehan. Tidak pakai sorban. Bukan pakaian gamis panjang.
Mendengar suara sang pria, seketika suara para malaikat bergemuruh mengeluarkan suara hamdalah. Seisi langit pun ikut bertasbih.
Semua malaikat pencatat kebaikan memohon dispensasi. Minta diberi waktu kepada pemilik alam semesta, yang bertahta di atas arsy.
Kelompok malaikat pencatat perbuatan dosa bertanya heran. Mereka semua bertanya ada apa gerangan dengan kelompok Malaikat Jibril dan lainnya. Siapa sebenarnya manusia yang mereka istimewakan. Sholat dan doanya sama saja dengan yang lain. Bukan keturunan Rasululllah Muhammad. Bukan penyuluh agama. Atau tidak pernah berdakwah di masjid dan majelis talim. Dagunya tidak tumbuh jenggot panjang lebat.
Tapi, kenapa semua pada senang? Tanya mereka.
“Wahai saudara-saudaraku pencatat amal kebaikan, siapa sih yang kalian istimewakan, sampai memohon kepada Allah untuk dilonggarkan waktu?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, para malaikat makin tersenyum. Kelihatan amat Bahagia. Ternyata bukan hanya malaikat. Anginpun enggan bergeser ke sisi lain. Bintang bintang enggan berkedip. Gunung Lokon, Gunung Klabat terpaku.
Karena didesak siapa gerangan manusia itu? Jibril minta waktu setelah semua selesai. Setelah merampungkan tugas terakhir, mereka semua kembali ke metalangit.
Akhirnya Jibril dan lainnya menyerah. Jibril meminta kepada kelompok malaikat lain untuk perhatikan gerakan si hamba saat sujud di akhir sholat. Saat dia berdoa usai sholat. Setelah mereka amati, akhirnya mereka menemukan jawaban apa yang membuat dia diistimewakan Malaikat Jibril, junjungan semua malaikat.(bersambung)
Komentar