BSG dan Politik Representasi: Apakah Kita Siap Mengorbankan Masa Depan Ekonomi Kawasan?

Radinal Muhdar, S.Kep., M.M
Sekretaris Umum HMI Badko Sulut-Gorontalo

RAPAT Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank SulutGo (BSG) yang telah digelar pada 9 April 2025 kemarin, menjadi momen penting yang tidak bisa dianggap remeh. Artikel opini saya sebelumnya menegaskan bahwa RUPS kali ini bukan sekadar forum bisnis biasa, tetapi menjadi pijakan awal bagi kebangkitan ekonomi daerah, sehingga kepercayaan publik terutama para nasabah perlu untuk dijaga.

banner 728x90

Keputusan strategis yang dihasilkan pada RUPS bukan hanya berdampak pada arah bisnis perbankan daerah, tetapi juga menyentuh fondasi kerjasama dalam pembangunan ekonomi dua provinsi bersaudara: Sulawesi Utara dan Gorontalo. Dalam konteks pemulihan ekonomi daerah dan menghadapi ketidakpastian ekonomi nasional serta masalah geoekonomipolitik global yang kian memburuk, BSG bukan sekadar bank pembangunan daerah, melainkan instrumen utama dalam menggerakkan roda perekonomian lokal.

Karena itu, polemik yang mencuat setelah RUPS kemarin, terkait tidak adanya representasi putra-putri daerah Gorontalo dalam jajaran direksi maupun komisaris perlu dicermati secara bijak, bukan semata dari kacamata politis, melainkan dari analisis sosial dan ekonomi yang mendalam, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap ekonomi dan keharmonisan kehidupan masyarakat kedua provinsi.

Pernyataan keberatan sejumlah kepala daerah dari Gorontalo, bahkan disertai ancaman untuk menarik saham mereka dari BSG atau mendirikan bank daerah sendiri, menjadi eskalasi yang patut disikapi dengan kehati-hatian. Secara kapitalisasi, jika seluruh saham Gorontalo ditarik (sekitar 20% dari total modal Rp1,2 triliun), BSG masih bisa bertahan karena saham mayoritas tetap dikuasai Pemprov Sulut dan PT Mega Corpora.

Namun, dampaknya jauh lebih dalam jika dilihat dari sisi psikologis, sosial, dan ekonomi. Penarikan tersebut bisa menimbulkan disintegrasi ekonomi kawasan karena BSG selama ini menjadi simbol kerja sama antarprovinsi. Gorontalo juga akan kehilangan potensi dividen dan efisiensi dalam layanan keuangan, mengingat pendirian bank baru bukanlah perkara mudah.

Selain itu, reputasi BSG bisa tercoreng, dengan munculnya persepsi eksklusivitas yang belum tentu benar jika dilihat dari mekanisme formal. Lebih jauh, krisis kepercayaan antarpemerintah daerah bisa menghambat semangat kolektif dalam membangun ekonomi kawasan.

Dari sisi mekanisme, keputusan RUPS telah melibatkan seluruh pemegang saham, termasuk Gorontalo. Maka secara normatif, keterlibatan itu telah terjadi. Namun, harus diakui bahwa dalam korporasi, pemegang saham mayoritas memiliki hak menentukan arah perusahaan. Di sinilah pentingnya kita tidak hanya bicara prosedur, tetapi juga sensitivitas politik dan etika kebijakan.

Berita Terkait:  ARAH DPD IMM SULUT, PERTEGAS INTEGRITAS DAN KOLABORASI

Ketika Gorontalo merasa tidak diwakili, masalahnya bukan sekadar pada struktur jabatan, melainkan pada simbol pengakuan dan eksistensi daerah. Dalam kerangka negara-bangsa yang menjunjung kesetaraan dan kebhinekaan, representasi adalah hal esensial yang menyangkut rasa keadilan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan strategis.

Melihat waktu yang tersisa hingga masa jabatan direksi berakhir di tahun 2026, polemik ini bisa juga dibaca sebagai strategi tekanan politik menjelang restrukturisasi berikutnya. Langkah seperti ini sah saja dalam konteks politik representasi, asalkan disampaikan melalui jalur dialog, musyawarah dan negosiasi yang sehat. Sebab jika dilakukan melalui ancaman menarik saham secara terbuka, maka yang dikorbankan bukan hanya BSG, tetapi juga masyarakat Gorontalo yang berhak atas stabilitas sistem keuangan dan pelayanan publik yang optimal. Kita tidak ingin tarik-ulur elite BSG menjadikan rakyat sebagai collateral damage dalam drama politik kekuasaan ekonomi.

Dalam konteks ini, kritik konstruktif harus disampaikan kepada semua pihak. Untuk Pemprov dan Pemda di Gorontalo, aspirasi representasi tentu sah dan wajar. Namun, harus dikemas dalam format komunikasi formal yang bijak dan tidak bernuansa ultimatum atau ancaman yang malah memperkeruh situasi. Perlu disadari bahwa sebagai pemegang saham minoritas, ruang pengaruh memang terbatas, namun bukan berarti tertutup. Justru saat inilah momen untuk menyiapkan kader-kader terbaik yang siap bersaing secara profesional dalam seleksi direksi mendatang.

Jika benar tujuannya adalah kesejahteraan rakyat dan bukan hanya ego elitis semata, maka fokuslah pada strategi jangka panjang dengan memikirkan dampaknya terhadap masyarakat Gorontalo secara keseluruhan, bukan manuver spontan jangka pendek yang berisiko tinggi.

Untuk BSG, diperlukan langkah komunikasi publik yang lebih transparan dan terbuka dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan di RUPS. Selain itu, BSG perlu merancang peta jalan manajemen yang inklusif, yang memungkinkan kader dari berbagai daerah pemegang saham untuk berkembang dan berkontribusi di level strategis. Kepercayaan publik adalah modal utama bagi kelangsungan bank pembangunan daerah, dan menjaga harmoni antardaerah harus menjadi bagian dari strategi bisnis jangka panjang.

Berita Terkait:  Babak Baru dari Spill Over Perang Rusia-Ukraina

Bagi Gubernur Yulius Stevanus Komaling (YSK) dan Pemprov Sulut sebagai pemegang saham mayoritas, peran mereka tidak berhenti pada pengendalian saham semata. Justru di tangan mereka terletak tanggung jawab moral sebagai pengayom stabilitas ekonomi dan sosial politik kawasan. Kepemimpinan sejati bukan tentang dominasi, melainkan tentang kemampuan menjadi jembatan kepercayaan antar wilayah. Maka, pendekatan informal, forum budaya, dan dialog terbuka harus menjadi instrumen utama dalam meredakan ketegangan dengan visi utamanya demi kemaslahatan rakyat kedua provinsi. Kita butuh pemimpin Sulut dan Goronalo yang mampu menanamkan narasi bersama dan inklusif ditengah perbedaan, bukan pemimpin yang malah memperkuat sekat-sekat perbedaan.

Jalan tengah tentu masih mungkin. BSG dapat memfasilitasi forum deklarasi bersama antara Sulut dan Gorontalo untuk menegaskan komitmen membangun kawasan secara kolaboratif. Penataan ulang struktur kepemimpinan juga bisa dirancang agar tetap mempertimbangkan aspek keterwakilan wilayah, tidak hanya berbasis kekuatan saham. Mekanisme seleksi direksi di masa depan sebaiknya dibuka secara, merit sistem, profesional dan transparan, namun tetap sensitif terhadap nilai strategis keterwakilan daerah.

Selain itu, Gorontalo juga harus lebih dilibatkan dalam program ekspansi dan pemberdayaan BSG, baik di sektor UMKM, layanan keuangan daerah, maupun literasi keuangan. Terakhir, seluruh pemegang saham perlu mendapatkan edukasi politik-ekonomi agar memahami logika bisnis korporasi, sehingga tidak mudah terseret dalam narasi yang cenderung emosional dan destruktif.

Pada akhirnya, polemik ini bukan tentang jabatan semata, tetapi tentang bagaimana kita memelihara kepercayaan publik sebagai fondasi ekonomi daerah. Karena kepercayaan adalah mata uang utama dalam ekonomi. Ketika publik melihat para elite daerah terlibat dalam konflik terbuka, mereka mulai meragukan kemampuan pemimpin mereka menjaga amanah.

Saat kepercayaan publik retak, maka segala upaya pembangunan ekonomi juga ikut terganggu. Inilah saatnya bagi semua pihak untuk kembali ke meja perundingan, menegaskan komitmen membangun kawasan berbasis kolaborasi dan saling percaya. Karena ekonomi daerah tidak dibangun dari kekuasaan semata, tetapi dari narasi keadilan, inklusivitas, dan kepercayaan yang terus dijaga bersama.(***)

Komentar