ANIES DAN POLITIK IDENTITAS

oleh: Moksen Idris Sirfefa

“Identity is people’s source of meaning and experience” (Manuel Castells).”

Empat hari pasca pencapresan oleh Partai Nasdem, Anies Rasyid Baswedan menghadiri undangan pernikahan anak Habib Rizieq Syihab (HRS) sekaligus peringatan Maulid Nabi S.a.w di Petamburan Jakarta.

Lawan politik ramai-ramai ngetwit wacana politik identitas. Niluh Djelantik, Ketua Departemen Bidang UMKM Partai Nasdem langsung menyatakan diri keluar dari kepengurusan partai besutan Surya Paloh itu.

Salah satu petinggi Partai Demokrat (partai potensial koalisi Nasdem) juga mewanti-wanti agar Anies tidak membawa-bawa politik identitas.

Para buzzer optimis bahwa jualan isu politik identitas cukup efektif untuk menjatuhkan citra Anies karena isu Formula E gagal digoreng. Mengapa politik identitas dipakai untuk melawan Anies?

Karena di pemahaman mereka, politik identitas identik dengan diskriminasi rasial, intoleran, radikal, ekstrim, dan (lebih celaka lagi) merupakan identitas politik Islam.

Dalam framing kelompok ini, politik identitas mengerikan dan berbahaya. Politik identitas harus dilawan, karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Wacana politik identitas dibangun oleh mereka dengan tujuan memunculkan trauma dan ketakutan politik (political fear) bagi para followers dan vooters Anies yang mayoritas kelas menengah kota.

 

Politik Identitas : Kesamaan dan Perbedaan

Di masa lalu politik identitas disebut politik aliran yaitu Islam dan nasionalis sekuler. Sejauh ini definisi tentang politik identitas belum ditemukan di dalam kepustakaan ilmu politik, sehingga yang ditemukan hanya pengertian politik dan pengertian identitas.

Tulisan ini tidak mengulas arti politik melainkan arti identitas, karena kata itu yang menjadi momok akhir-akhir ini.

Justru politisi yang gamang terhadap politik identitas adalah ahistoris.

Identitas adalah sumber makna (jatidiri) dan pengalaman seseorang, (Identity is people’s source of meaning and experience), tulis sosiolog Spanyol, Manuel Castells .

Menurut Castells (2010), identitas terbagi dalam tiga kategori. Identitas legitimasi, identitas resistensi dan identitas proyek.

Identitas legitimasi dikenalkan oleh institusi paling dominan di dalam masyarakat dalam hal ini kita sebut pemerintah. Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama, golongan darah (pada KTP dan Kartu Keluarga) yang secara tersirat juga menerangkan etnisitas seseorang.

Identitas resistensi adalah identitas yang terbentuk karena adanya resistensi atau perlawanan terhadap logika kelompok dominan. Identitas proyek diperoleh akibat kontruksi identitas.

Misalnya pengangkatan dan pemberian gelar adat kepada figur tertentu dari luar komunitas adat bersangkutan.

Jika mengikuti Castells, yang ditakutkan oleh sebagian orang tentang kebangkitan politik identitas adalah identitas legitimasi.

Yaitu identitas yang melekat dengan diri seseorang berupa nama, keluarga, asal-usul, agama, etnis, lingkungan pergaulan, budaya dan sebagainya.

Bagaimana bisa semua itu ditanggalkan dan seseorang menjadi bukan manusia (unidentified being)? Kauffman (1990)

mendefinisikan politik identitas sebagai politik budaya yang mengekspresikan “keyakinan tentang identitas itu sendiri” (the belief that identity itself). Politik identitas mempolitisasi bidang kehidupan

yang sebelumnya tidak didefinisikan sebagai politik, termasuk seksualitas, interpersonal, hubungan, gaya hidup, busana, demontrasi buruh, termasuk tren minum kopi.

Masing-masing daerah menunjukkan identitasnya; kopi Papua, kopi Aceh, kopi Toraja dan seterusnya.

Menurut Fukuyama (2018), sebagian besar perjuangan politik dunia kontemporer diwarnai dengan politik identitas. Dari berbagai revolusi demokratis hingga gerakan sosial baru.

Dari nasionalisme dan Islamisme hingga politik identitas diangkat oleh kelompok kiri (the left) dan kelompok kanan (the right) di negara-negara demokrasi-liberal. Kaum kiri lebih menekankan isu-isu kesetaraan dan keadilan, sementara kaum kanan lebih menuntut kebebasan yang lebih luas dalam semua lini kehidupan.

Di Amerika Serikat, praktik politik identitas diawali oleh Marthin Luther King Jr, seorang pendeta Baptis di Atlanta Georgia. Ia menuntut hak-hak kesetaraan sipil di tahun 1954 dan menjadi martir bagi kaum kulit hitam Amerika saat ia berpidato di Memphis Tennessee, 4 April 1968.

Selain itu ada juga gerakan politik Islam yang digagas oleh Louis Farakhan dengan gerakan The Nation of Islam-nya yang menuntut kesetaraan hak-hak Muslim negro Amerika. Tapi gerakan ini kemudian melunak setelah terjadi kesepahaman antara Farakhan dan Wareeth Dien Muhammad, mantan pesaingnya untuk bersepakat menyatukan diri dalam arus besar masyarakat Amerika yang plural dan heterogen.

Juga masyarakat Amerika di Queebeck yang berbudaya dan berbahasa Perancis ingin memisahkan diri dari Kanada yang berbahasa Inggris.

Juga sebagian orang Papua berbahasa Indonesia tetapi memandang ras mereka Melanesia sehingga ingin memisahkan diri dari Indonesia yang ras Melayu. Padahal, Maluku dan Nusa Tenggara yang ras Melanesia tetapi merasa nyaman menjadi bagian dari Indonesia.

Nasionalisme sendiri kumpulan identitas kultural, etnis, bahasa, agama, menyatu dalam kesamaan padangan untuk hidup bersama. Dayak dan Papua “berbeda”, tetapi “sama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Jika seseorang secara etnis adalah Papua, maka identitasnya Papua. Jika seseorang berasal dari Hadhrami, maka identitasnya Arab.

Identitas dapat dipahami sebagai ciri-ciri fisik atau kualitas yang membuat seseorang atau sekelompok orang yang membuat mereka berbeda atau unik dari yang lain (make them different or unique from others).

Tetapi identitas juga adalah kondisi atau fakta yang menjadikan sekelompok orang sama (being the same) atau memiliki kesamaan (sameness).

Orang Papua dan Dayak secara fisik berbeda tetapi memiliki kesamaan sebagai WNI, maka Indonesia menjadi identitas dari orang Papua dan orang Dayak.

Atau orang Cina, Arab dan (peranakan Eropa) yang lahir dan besar di Indonesia secara etnik berbeda tetapi memiliki ketergantungan ideologis, psikologis dan sosilogis dengan Indonesia, dan mereka mengaku sebagai orang Indonesia.

Berita Terkait:  ODSK Hebat, Sukses Realisasi Investasi Rp3,124 Triliun

Hal yang sama terjadi di belahan dunia yang lain seperti di Amerika dan Eropa.

Politik identitas adalah aktivitas politik yang berbasis identitas atau menggunakan identitas dalam keterlibatan politik, atau sebaliknya memperjuangkan kepentingan dan kebaikan identitas

melalui sarana politik. Politik identitas yang ekstrim dihubungkan dengan penindasan, kekerasan yang memicu keinginan untuk melepaskan diri (self-determination).

Tuntutan untuk persamaan hak-hak kewarganegaraan seperti di masyarakat Aborigin, kaum perempuan dan kaum LGBT termasuk kategori ini.

Dalam makna yang positif, politik identitas adalah bagaimana seseorang atau anggota kelompok mengartikulasikan secara eksplisit kalibrasi kesamaan dan perbedaan itu dalam satu hubungan soliditas yang dikecualikan (relations of exclusion), sehingga dapat menyatukan kelompok manapun.

Misalnya, identitas sebagai perbedaan (identity as differences) jika diarahkan keluar (eksternal) dan sebagai kesamaan (identity as sameness) jika ditujukan ke dalam (internal).

Jadi politik identitas adalah gagasan tentang kesamaan dan perbedaan. Apa yang dilakoni Anies lebih menekankan pada ekspresi kesamaan (sameness) dan perbedaan (differences). Jadi, salah jika politik identitas dikembangkan seolah-olah bentuk eksklusivisme politik.

Perbedaan adalah takdir alam (sunnatullah) dan memperkenalkan diri sendiri atau kelompok kepada pihak lain adalah tabiat kemanusiaan sebagai makhluk sosial.

Tuhan menciptakan manusia dari seorang lelaki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku-bangsa untuk saling memperkenalkan diri (lita’ârafû) dalam rangka taat kepada-Nya (baca Al-Qur’an, al-Hujurat : 13).

Giddens (1996) menyebutkan dorongan kepada aktualisasi diri berdasarkan kepercayaan dasar, yang dalam konteks personal hanya dapat dilakukan dengan “membuka” diri terhadap orang lain (a mutual process of self-disclosure). Tanpa pengenalan, identitas tidak dapat dinamakan identitas.

Maka hati- hati “memusuhi”(politik) identitas, karena hal itu berarti anda memusuhi diri anda sendiri. Tuhan sendiri pun ingin dikenali sehingga Dia menciptakan manusia untuk mengenal Dia (kuntu kanzan makhfiyyan fa-ahbabtu ‘an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’rafa), demikian Firman Tuhan dalam sebuah hadits Qudsi.

Pada tahap ini, identitas pribadi seorang figur di dalam suatu kelompok politik berperan mewarnai dinamika kelompok politiknya melalui pencitraan pribadi. Itu sebabnya, di dalam kajian- kajian tentang modernitas, identitas dihubungkan dengan teori tentang diri (the self) dan interpretasi diri terhadap dirinya sendiri (self’s interpretation of itself) yang oleh banyak ahli dibedakan dalam dua kategori, yaitu identitas individu (how a person is) dan identitas kelompok (how a person are).

Identitas Anies

Politik identitas adalah produk sejarah bangsa Indonesia. Sejak zaman pergerakan Indonesia, politik identitas menjadi satu-satunya pilihan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme.

Mulai dari zaman Budi Utomo 1908, ada nama Wahidiin Sudirohusodo, Sutomo, Soeradji, adalah nama-nama priyayi kelas menengah Jawa yang berpendidikan moderen dan berprofesi dokter. Kemudian era 1928 ditandai dengan Sumpah Pemuda dimana kelas menengah pelajar dan pemuda menyuarakan identitas kedaerahan dan kelompok sosialnya.

Memasuki era kemerdekaan, kelompok-kelompok kelas menengah Indonesia membentuk partai-partai politik yang berhaluan primordialis, sosialis, komunis dan Islamis. Memasuki era kemerdekaan 1945 dengan adanya BPUPKI, representasi identitas muncul di 9 orang anggota BPUPKI. Politik identitas itu tergambar dari 155 anggota yang duduk di Majelis Konstituante dan puncaknya adalah identitas Islam dan nasionalisme.

Di era Demokrasi Terpimpin (1956), Soekarno menggagas identitas nasionalisme, agama dan komunisme (Nasakom) sebagai antitesa terhadap demokrasi parlementer yang banyak konflik.

Bahkan jauh sebelumnya di tahun 1927 (setahun sebelum Sumpah Pemuda), Soekarno telah mengumandangkan politik identitas lewat artikel yang dimuat di Indonesia Moeda, sebuah publikasi terbitan “Klub Studi Umum” (Algemeene Studie Club/ASC) yakni kelompok diskusi yang dia dan teman- temannya bentuk sewaktu kuliah di Bandung.

Dalam artikel itu, Soekarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional kaum nasionalis, Islamis dan Marxis dalam perlawanan tanpa kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.

Memasuki Indonesia moderen, partai-partai politik zaman Orde Baru hingga orde reformasi menggunakan atribut keagamaan dan jargon-jargon nasionalisme sebagai identitas.

Megawati Soekarnoputri dan kini diikuti anaknya Puan Maharani di spanduk dan baliho tertulis kata “Merdeka” dengan kepalan tangan dan gambar Soekarno di belakangnya. Itulah politik identitas sebagai pelanjut Soekarnoisme. Pasca Baru, sinetron-sinetron islami mewarnai layar televisi Indonesia.

Oleh Ariel Heryanto (2018) budaya pos-Islamisme ini digandrungi banyak orang lalu kaum perempuan mengganti tren berbusana Muslimnya mengikuti budaya layar ini tetapi perusahaan-perusahaan televisi itu tidak dituduh melakukan politik identitas. Politik identitas pada masa Soekarno berbeda pemaknaannya dengan politik identitas yang berkembang di masa Jokowi. Gerakan sosial 212 yang diklaim berhasil memenangkan Anies sebagai gubernur DKI mengalahkan Ahok dinilai sebagai politik identitas. Juga ketika alumni gerakan 212

menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga-Uno dalam Pilpres 2019 dicap sebagai politik identitas. Sementara kalau perkumpulan orang Batak dan orang Manado mendukung pasangan capres

Jokowi-Ma’ruf Amin tidak dianggap politik identitas. Politik identitas adalah persamaan dan perbedaan, mengapa harus takut?

Mari kita memahami sejarah politik kebangsaan para the founding fathers bangsa Indonesia.

Siapa yang tidak mengenal H.O.S. Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam (selanjutnya menjadi Sarekat Dagang Islam) adalah seorang guru. Dia adalah seorang sosialis Muslim yang darinya Soekarno,

Semaun, Kartosuwiryo, Alimin, Muso dan Tan Malaka belajar tentang nasionalisme Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Mr. Kasman Singodimedjo, yang pernah menjabat Jaksa Agung dan juga Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah anggota aktif Muhammadiyah dan mantan Sekjen Partai Islam Masyumi. Siapa yang tidak mengenal Mohammad Natsir, seorang ulama, politikus dan

Berita Terkait:  Sri Mulyani: PPKM Darurat Bakal Diperpanjang 6 Minggu

pejuang. Ia merupakan pendiri dan pemimpin partai Islam Masyumi dan pernah menjabat Menteri dan Perdana Menteri, sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia (World Mosque Council).

Siapa yang tidak mengenal Alexander Andrias Maramis, orang Manado Kristen yang menjadi salah satu anggota Panitia 9 (dari 67 anggota BPUPKI) yang merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Ia juga aktif di KNIP dan menjadi Menteri keuangan dan duta besar Indonesia di Finlandia.

Identitas para pemimpin bangsa itu tidak seperti yang dipahami sebagian aktivis politik bahkan media sosial, terutama para buzzer yang pragmatis dan ahistoris. Pemahaman tentang politik identitas yang miopik membuat mereka bertindak memalukan. Contoh, dalam suatu acara resmi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ketua Umumnya, Grace Natalie berpidato berapi-api menolak Perda Syariah.

Tetapi di kesempatan yang lain, ia menolak praktek poligami yang merupakan gerakan politik identitas kaum feminis di negara-negara Barat.

Kunjungan Anies ke tokoh politik dan tokoh civil society mesti dipandang sebagai kekerabatan (kinship) dan pertemanan (friendship) sebagai pemimpin di ibukota Jakarta. Anies ingin membangun

aliansi jangka panjang dalam menghadapi kontestasi politik di tahun 2024 dan itu wajar saja. Anies besar di Yogya dan baru memasuki arena politik Indonesia sepuluh tahun terakhir, makanya harus menjalin kekerabatan dengan siapa saja. Jika kekerabatan didasarkan pada interrelasional seksual, sedarah, sekampung, sedaerah, maka secara tidak langsung mereka saling mengenal identitasnya

masing-masing. Sebaliknya kalau pertemanan (karena bukan keluarga atau sekampung) maka yang dibutuhkan adalah kejujuran (sincerity) dan bagaimana menjaga martabat (honour) di antara mereka.

Hubungan Anies dengan HRS, dengan Paloh, dengan AHY, dengan Prabowo, dengan Jokowi, dan dengan siapun harus dikontekskan dalam dua kerangka intensi hubungan politik personal tersebut.

Dari aspek nasionalisme, Anies adalah cucu dari A.R Baswedan, tokoh pejuang dan karib A.A.Maramis di KNIP. A.R. Baswedan adalah keturunan Arab Hadhrami yang karir politiknya sangat cemerlang.

Di masa mudanya di tahun 1928, ia memobilisasi para pemuda keturunan Arab di Semarang memperjuangkan nasionalisme Indonesia.

Ia kemudian menjabat Ketua organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). Ia seorang pejuang kemerdekaan, diplomat, muballigh dan jurnalis. Tulisan-tulisannya di terbitan bulanan Aliran Baroe menjadi corong PAI dalam memompa semangat nasionalisme Indonesia.

Karir politiknya, selain di PAI dan KNIP, A.R. Baswedan menjadi salah satu anggota BPUPKI (yang merumuskan dasar negara). Setelah menjadi Anggota Parlemen dan anggota Dewan Konstituante dari

Partai Masyumi, ia diangkat menjadi Menteri Muda Penerangan di era Kabinet Syahrir. A.R. Baswedan adalah salah satu diplomat Indonesia pertama dan mendapat pengakuan de jure dan de facto pertama

bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir. Sejak kecil, Anies hidup bersama dan mendapat bimbingan langsung dari sang kakek. Saat mahasiswa, Anies bergabung di HMI, organisasi mahasiswa Muslim modernis. Di HMI, Anies diajarkan Nilai Identitas Kader (NIK), dimana setiap kader HMI adalah kader umat sekaligus kader bangsa.

Dengan NIK HMI itu, komitmen keislaman dan keindonesiaan menjadi nilai dasar semua alumni HMI, termasuk Anies, membangun Indonesia. Pidato perpisahan Anies di Balaikota DKI (Minggu,16 Oktober 2022) dengan menyanyikan dua lagu, bukan Salâm min- ba’îd dan Kun-anta, tapi Berkibarlah Benderaku dan Maju Tak Gentar, secara tegas mengisyaratkan Anies Rasyid Baswedan beridentitas Indonesia sejati.

 

Ciputat, 17 Oktober 2022.

————————————————————————————————————-

BAHAN BACAAN

 

Amartya Sen, Identity and Violence, New York-London : W.W Norton Company, 2008.

Andrew Heywood, Politics, London : Palgrave Foundation, 2013.

Anthony D. Smith, National Identity, New York : Penguin Books, 1991.

Anthony Giddens, Politics Government and Social Movements, “Sociology” 7th Edition, 2013.

Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, UK : Stanford University Press, 1996.

Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan (Politik Budaya Layar Indonesia), Cet.III, Jakarta : KPG Gramedia, 2018.

Azar Gat with Alexander Yakobson, Nations (The Long History and Deep Roots of Political Ethnicity and Nationalism), Cambridge : Cambridge University Press, 2013.

Bernard Crick, In Defense Politics, New York : Continuum Publishing Co., 2010.

Dawn-Marie Gibson, A History of the Nation of Islam (Race, Islam, and the Quest of Freedom), Santa Barbara California,2012.

Edward E. Curtis IV, Black Muslim Religion in the Nation of Islam 1960-1975, The University of North Carolina Press, 2006.

Eman Sulaiman, Politik Identitas (Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Teori Modern), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2022.

Francis Fukuyama, Identity : The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, New York :

Farrar, Strauss and Giroux, 2018.

Gemma Edwards, Habermas and Social Movement Theory, 2009.

Huub de Jonge, Mencari Identitas (Orang Arab Hadhrami di Indonesia1900-1950), Jakarta : KPG Gramedia,2019.

L.A. Kauffman, The anti-politics of identity, Social. Rev. 90 (1), 1990.

Lukman Hakiem dan Hadi Nur Ramadhan, A.R. Baswedan (Saya Muslim, Saya Nasionalis), Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2021.

Manuel Castells, The Power of Identity, West Sussex : Wiley-Blackwell,2010.

Suratmin dan Didi Kuartanada, A.R. Baswedan (Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan), Jakarta : Kompas Gramedia,2014.

Umar Suryadi Bakry, Multikulturalisme & Politik Identitas (Dalam Teori dan Praktik), Depok : Rajawali

Komentar