Oleh : Abid Takalamingan.SSos, MH
A-TIMES- Indonesia seolah sedang dipaksa masuk ke dalam babak baru yang penuh ironi. Negeri yang dibangun atas darah dan keringat rakyat kecil, kini justru dikuasai oleh segelintir elit yang sibuk memperkaya diri. Rakyat setiap hari bekerja keras mencari nafkah, namun hasil jerih payahnya dirampas lewat pajak, aturan, dan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan politik serta keuntungan kelompok tertentu.
Kemarahan rakyat bukan tanpa alasan. Di satu sisi, pemerintah menuntut rakyat untuk patuh, membayar pajak, menerima kenaikan harga kebutuhan pokok, dan menanggung beban krisis ekonomi. Namun di sisi lain, elit politik dan pejabat negara tak segan-segan menaikkan gaji, tunjangan, serta mengobral fasilitas mewah atas nama jabatan. Ironi semakin nyata: rakyat disuruh berhemat, sementara para elit berpesta pora, bahkan berjoget ria ditengah penderitaan rakyat.
Fenomena ini melahirkan jurang ketidakadilan yang kian menganga. Rakyat merasa dipermainkan, dimanfaatkan hanya sebagai angka dalam pemilu, lalu dilupakan setelah kursi kekuasaan diduduki. Rakyat menjadi objek penderita, sementara elit menjadi penikmat. Tidak heran bila rasa muak kini berubah menjadi perlawanan.
Perlawanan itu kini nyata di jalanan. Gelombang demonstrasi semakin masif, suara protes makin keras, bahkan dalam banyak kasus berkembang menjadi beringas. Jalan raya ditutup, gedung-gedung pemerintahan dikepung, bahkan beberapa fasilitas dibakar. Aparat keamanan dipaksa berhadapan dengan kemarahan massa. Aksi-aksi ini mencerminkan satu hal ; rakyat sudah tidak percaya lagi pada janji manis kekuasaan.
Yang menarik, perlawanan kali ini tidak lagi terfragmentasi. Mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online, hingga masyarakat biasa menyatu dalam satu barisan. Sebuah koalisi rakyat terbentuk secara alami, didorong oleh rasa ketidakadilan yang sama. Persatuan ini adalah sinyal berbahaya bagi kekuasaan bahwa rakyat dari berbagai lapisan kini bersatu melawan.
Tragisnya, benturan dengan aparat kerap menimbulkan korban. Salah satunya adalah peristiwa memilukan ketika seorang demonstran tewas setelah digilas mobil polisi. Tragedi itu menjadi simbol nyata betapa kekuasaan telah kehilangan empati, dan betapa aparat lebih sibuk mempertahankan wajah rezim ketimbang melindungi nyawa rakyat. Darah yang tumpah di jalanan menjadi penanda bahwa muak telah berubah menjadi marah, dan marah telah menjelma menjadi perlawanan.
IMPLIKASI POLITIK
Gelombang perlawanan rakyat yang semakin luas memiliki dampak langsung terhadap stabilitas politik paling tidak dalam tiga hal ; Pertama ; Krisis kepercayaan publik terhadap elit dan institusi negara semakin dalam. Ketika janji politik dianggap palsu dan kebijakan dinilai zalim, legitimasi pemerintah terkikis dari waktu ke waktu.
Kedua ; Munculnya koalisi rakyat lintas kelas—mahasiswa, buruh, ojol, hingga masyarakat kecil—menunjukkan potensi lahirnya gerakan sosial yang solid dan berkelanjutan. Ini berbahaya bagi kekuasaan karena sejarah Indonesia mencatat bahwa ketika mahasiswa dan rakyat bersatu, perubahan politik besar tak bisa dihindari.
Ketiga ; Korban jiwa dalam aksi demonstrasi memperkuat citra represif rezim. Setiap darah yang tumpah di jalanan adalah bara yang menyulut api kemarahan baru. Semakin keras aparat menekan, semakin keras pula rakyat melawan. Dalam jangka panjang, situasi ini bisa mengarah pada instabilitas politik yang mengguncang fondasi kekuasaan.
Kini saatnya kita sadar, bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan sejati negeri ini. Elit yang hanya memperkaya diri sejatinya sedang menggadaikan masa depan bangsa. Rakyat tidak lagi mau menjadi penonton yang ditipu. Rakyat muak, rakyat melawan—dan gelombang itu tak bisa dihentikan hanya dengan intimidasi atau janji palsu.
Penulis: Pengamat politik (*)
Komentar