CATATAN: PEMILU 2024 DI TENGAH ANCAMAN RESESI  

Oleh: Idham Malewa

 

HIRUK pikuk Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 tidak sama dengan Pemilu 2019. Sejak 2022 hingga 2023 narasi politik begitu panas. Isunya macam macam. Tentang kesiapan Pemilu 2024.

Yang mendengungkan (buzzing) bukan kalangan kelompok NGO. Atau masyarakat sipil. Tapi yang rewel meniup isu ini mereka yang berada di ruang politik formal ( lembaga DPR RI dan lingkaran istana). Untuk memuluskan argumentasi ini digunakan para buzzer supaya kebisingan makin panjang.

Namun namanya opini akan berangsur angsur senyap. Isu penundaan Pemilu 2024 lama lama sepi.  Menggunakan isu instrument belanja Pemilu akan memberatkan APBN kurang disambut sebagian kontestan dan rakyat kebanyakan.

Mereka kemudian mencari instrument baru yang punya cocktail effect terkait isu isu ekonomi dan sosial.

Instrument itu akhirnya ketemu. Alasannya memang cukup tepat. Yaitu Invansi Rusia ke Ukraina. Pertikaian dua negara bertetangga berimplikasi ke global economy. Konon  pasar ekspor Indonesia kena remah remahnya. Pukulan ke pasar ekspor mereduksi postur belanja APBN 2023 dan 2024 (Government expenditure).

Setelah isu gejolak pasar global, dicari lagi perkakas baru yang fundamental. Ap aitu? Menggiring amandemen pasal 7 UUD 1945 untuk masa perpanjangan jabatan Presiden lebih dari dua periode dan pasal 22 E tentang Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

Akhir tahun 2022, wacana ini berhasil menggiring sejumlah kubu oposisi untuk menerima masa jabatan presiden diperpanjang jabatan.Alasannya berbeda beda. Negara masih butuh Presiden Joko Widodo. Jika jabatan diperpanjang akan ada efisiensi belanja negara. Kemudian Presiden Jokowi bisa melanjutkan program kerja infrastruktur dan kelanjutan megaproyek di IKN Kalimantan Timur. Apakah alasan ini benar? Wallahu alam. Karena terlalu banyak kelompok kepentingan di ruang public.

Wacana ini kata Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Nurliah Nurdin dianggap membegal konstitusi. Lantaran amanat reformasi telah

ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 7 dan pasal 22E, pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan presiden serta wakil presiden hanya dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Pasal pasal ini bisa berubah jadi pasal karet, tergantung kompromi pejabat negara dan legislative di DPR RI.

Apalagi sudah jamak dibicarakan kalau remote dikendalikan segelinti orang konglomerat yang sering dipersepsikan oligarcy ekonomi. Sebuah Buku Democracy for Sale, yang ditulis Ward Berenschot, Peneliti (KITLV) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University.  Ward mengulas bukunya saat diskusi di Indonesia bahwa ada tiga praktik dalam politik informal Indonesia. Pertama, politik transaksional. Jual beli suara. Ward menganalisis, jual beli suara yang dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak hanya dilakukan melalui jaringan partai, melainkan juga oleh orang-orang  bagian dari jaringan calon. Kekhasan kedua, yakni adanya tim sukses. Ketiga, yaitu broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga.

Berita Terkait:  Tamat, MK Tak dapat Terima Gugatan PAHAM

PEMILU PUNYA MULTIFLIER EFFECT

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya meyakini Pemilu 2024 akan memberi dampak positif pada ekonomi dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Apalagi pemilu legislatif, Pilpres, dan juga Pilkada dilakukan di tahun yang sama.

“Pemilu 2024 pasti punya efek yang lebih besar dibandingkan 2014 dan 2019.

Kenapa? Karena ketika kita bicara 2024, ini pertama kalinya dalam tahun pemilu, pertama pemilu legislatif dan Pilpres-nya berbarengan, lalu pertama kalinya pilkada diadakan di tahun yang sama dan diserentakkan

Mengutip riset yang pernah dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Yunarto mengatakan efek dari pelaksanaan pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi sebetulnya tidak terlalu besar. Dari riset yang dilakukan di tahun 2014 dan 2019, peningkatannya hanya 0,1% sampai 0,2%. Namun serapan sektor konsumsi yang besar.

Dari dua kutub pandangan di atas, sebagian besar berharap agenda Pemilu 2024 tetap terlaksana sesuai jadwal dari KPU RI.

Walau akhirnya ada konsekuensi yang akan diterima, termasuk postur belanja Pemilu sangat membengkak jauh dibanding 2019 dengan pagu belanja Pemilu saat itu Rp25,59 triliun.

Di Pemilu 2024 total pagu Pemilu sekira Rp76 triliun atau melonjak siginifikan.

Hanya saja, total belanja Rp76 T dalam bentuk multiyear atau tiga tahun anggaran. Anggaran disusun menjadi 3 (tiga) tahun, yakni 2022 sebesar 8.061.085.734.000, tahun 2023 sebesar 23.857.317.226.000, dan tahun 2024 sebesar 44.737.909.334.

Secara nominal angka itu kelihatan melonjak jauh dibanding 2019. Melihat kenaikan sebanyak itu, jangan heran orang banyak akan prejudice dengan perubahan belanja Pemilu 2019 dan 2024.

Hanya saja, dengan angka sebesar itu, multiflier effect ke sektor rill sangat besar efeknya. Kita tidak perlu rumit mencari pembenaran. Penyebab besarnya anggaran Pemilu lantaran membiayai para penyelenggara Pemilu.Sudah termasuk KPU dan Bawaslu. Di KPU ada panitia kecamatan (PPK), panitia kelurahan (PPS), pantarlih hingga KPPS. Di Bawaslu ada Panwascam dan panwas kelurahan hingga panwas TPS.

Dengan anggaran sebesar itu, Pemilu telah ikut mengurangi angka pengangguran tak kentara (disguise employment). Menggerakkan sektor rill dan UMKM dan mendorong Pemilu berkualitas.

Berita Terkait:  Wawali Minta KNPI Menjadi Mitra Strategis Pemerintah

Kalau hitung kasar, sesuai data BPS dan Kemendagri 2022, jumlah provinsi ada 38 wilayah. Kemudian memiliki 514 kabupaten/kota yang terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota. Memiliki 7266 kecamatan dan 8506 kelurahan dan 74961 (sumber data BPS dan Kemendagri sedikit berbeda).

Angka angka ini jika dikalikan jumlah penyelenggara sesuai level, maka untuk tenaga kerja KPU provinsi 190 orang dan Bawaslu provinsi sebanyak 190 orang.

Turun lagi ke bawah, tiap kota dan kabupaten ada 5 anggota KPU dan 3 anggota Bawaslu, dikalikan 514 kabupaten dan kota, maka Pemilu telah memperkerjakan 4112 rakyat Indonesia di KPU dan Bawasalu. Turun ke bawah lagi, di level panitia pemilihan kecamatan dan panitia pengawas pemilu yang tersebar di 7266 kecamatan, jumlah tenaga kerja yang disedot sebanyak 58.192. Kemudian di level panitia pemungutan suara (PPS) dan panitia pengawas kelurahan di kelurahan dan desa mampu menyerap tenaga sebanyak 335.324 orang (83831 desa/kelurahan dikalikan 3 PPS dan 1 Panwaslur),. Sehingga ditotalkan jumlah tenaga kerja yang dikaryakan sebagai para penyelenggara sebanyak 396.488.

Andai dihitung gaji atau honor selama 12 bulan, kemudian dikalikan nominal gaji tiap tingkatan maka diperkirakan dana Pemilu yang dibayarkan sebagai gaji pada tahun

2023 sebesar Rp6,904 T.  2024 ditaksir lebih besar lagi, karena akan ada ketambahan biaya honor untuk petugas KPPS sebanyak 7 orang tiap TPS ditambah dua hansip dan satu petugas pengawas TPS. Honor mereka selama bekerja diperkirakan dua bulan lamanya sekira 1.000.000 per orang. Kemudian masih ada lagi untuk belanja untuk bahan di TPS, belanjakan untuk APK, kertas dan tinta, biaya konsumsi dan biaya pengamanan serta biaya terkait lainnya.

Dengan demikian, jika ada kelompok yang menjadikan anggaran Pemilu sebagai beban negara maka isu itu tidak akan popular. Karena angka angka di atas mencerminkan sebaliknya bahwa 25 persen belanja Pemilu untuk menambal penghasilan. Yang pada akhirnya akan memberi manfaat di sektor rill.

Logika apa pun akan selalu terbantahkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kecuali logika konstitusi UUD 1945 diamandemen atau jika saat Pemilu terjadi bencana alam yang sangat mengganggu tahapan Pemilu.(*)

 

Bahan TOR Seminar Nasional KAHMI Sulut dan Manado, 17 Februari 2023

Komentar