Catatan : Abid Takalamingan. Diskusi Lembaga Keuangan Bank, Isu Seputar BSG Dalam Komposisi Baru

 

Rame-rame pasca Pilkada Sulawesi Utara banyak orang berdiskusi tentang perubahan komposisi kepemimpinan di daerah mulai dari Kabinet baru di Provinsi Sulut sampai menyasar lembaga-lembaga sub-ordinat Pemprov lainnya apakah itu BSG, MSH, atau PD Pembangunan.

banner 728x90 banner 728x90 banner 728x90 banner 728x90

Tapi yang paling gress dari semuanya adalah soal Bank Sulut Gorontalo (BSG) sebagai Bank Daerah dimana Pemprov Sulut adalah Pemegang Saham Pengendali (PSP) bersama 24 pemegang saham lainnya yang terdiri dari pemkot/pemkab se Sulut dan Gorontalo, PT Mega Corpora serta Koperasi Karyawan BSG.

Terhadap seluruh diskusi menurut saya sekali lagi seperti dalam tulisan saya sebelumnya bahwa soal pengelolaan bank termasuk BSG ke depan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan karena siapapun yang akan mengurus BSG pasti akan dipegang oleh mereka yang memiliki kapasitas yang memadai soal mengurus lembaga keuangan, memiliki reputasi keuangan yang baik (tak bermasalah) serta memiliki integritas/kejujuran yang terklarifikasi selebihnya tinggal tergantung kemampuan dari para pemegang saham terutama Pemegang Saham Pengendali (PSP) yakni Gubernur terpilih dalam mengelola beberapa isu penting yang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan BSG kedepan, dan tulisan ini mungkin bisa menjadi masukan jika dianggap relevan dan diperlukan.

Menurut hemat saya sebenarnya dibanding lainnya ada tiga hal yang menjadi isu di BSG yang harus terkonsolidasi secara baik mengawali tahun kepemimpinan kepengurusan BSG ke depan, dan ini sangat terkait dengan kemampuan pemimpin baru pemprov dalam mengelola isu ini jika telah dilantik nantinya sebagai Gubernur secara definitive

Pertama ; ISU KEPENGURUSAN BSG

Biasanya kepengurusan BSG selalu menjadi sesuatu yang sangat seksi menjelang RUPS apalagi jika itu dilatari oleh pergantian kepemimpinan rezim yang berbeda di tingkat Pemprov Sulawesi Utara.

Kondisi seperti ini sebenarnya tak hanya terjadi di Sulut tapi itu terjadi dimana saja terutama di bank-bank yang sahamnya didominasi oleh saham pemerintah yang bersumber dari APBD maupun APBN.

Disinilah sebenarnya titik krusial awal dari seorang Gubernur terpilih bagaimana beliau mengimplementasikan profesionalisme disatu sisi dan politik akomodatif pada sisi lainnya.

Bagaimana seorang Gubernur sebagai PSP di BSG mengakomodir orang-orang yang berjuang bersama dalam agenda merebut tampuk kepemimpinan politiknya dan pada saat yang bersamaan bagaimana dia menempatkan orang-orang profesional dan sejalan dengan kebutuhan serta objektivitas lapangan dalam hubungannya dengan BSG sebagai lembaga keuangan yang harus tumbuh dan berkembang secara baik demi kemajuan daerah.

Berita Terkait:  Bank Indonesia,,Pemkot.Manado dan Pesantren Darul Istiqomah Panen Bawang Merah

Untuk hal ini sekalipun PSP memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam isu ini akan tetapi konflik interesnya juga cukup besar dalam pengisian dari kira-kira delapan personil pengurus yang akan mengisi posisi di BSG baik sebagai direksi maupun sebagai komisaris.

Kalau kita mencoba meneropong dan memeriksa peta berdasarkan komposisi saham maka penentuan kepengurusan BSG kali ini bakal lebih rumit dari sebelumnya karena peran sebagai PSP diperhadapkan dengan beberapa fakta objektif yang relatif berbeda dihadapi oleh PSP sebelumnya Olly Dondokambey.

Hal-hal tersebut dipengaruhi diantaranya ;

1. Mega Corporate Sebagai Bank Induk KUB

Posisi Mega Corporate yang semakin kuat di BSG terutama terkait dengan isu konsolidasi modal inti BSG dimana oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan BSG bahwa harus mencukupi modal inti sebesar 3 (tiga) Triliun rupiah secara konsolidatif mulai 1 Januari 2025.

Dalam kerangka tersebut peran Mega Corporate pada RUPS-LB tertanggal 12 Juli 2024 karena selisih modal inti masih terpaut sekitar 1.3 Triliun maka cara paling mujarab adalah RUPS-LB bersepakat memilih opsi untuk bergabung dan menetapkan PT Mega Corporate sebagai perusahaan induk Kelompok Usaha Bank (KUB) agar posisi BSG sebagai bank tidak turun kelas menjadi BPR sdbagai diatur dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.

Dalam posisi tersebut dapat dipastikan Chaerul Tanjung (CT)sebagai Owner dari PT Mega Corporate (PTMC)akan memiliki bargaining posisition yang semakin kuat di BSG dan sangat mungkin beliau akan meminta penambahan satu orang sebagai pengurus dalam mengawal kepengurusan BSG dimana selama ini cukup dengan seorang komisaris maka dapat dipastikan satu orang lagi akan diminta untuk mengisi posisi direksi.

2. Keterwakilan Kewilayahan.

BSG sebagaimana nama yang melekat padanya bahwa dia adalah yang dimiliki oleh dua provinsi yakni Provinsi Sulut dan Provinsi Gorontalo. Makanya selama ini selalu dalam setiap RUPS BSG paling tidak ada satu orang yang akan menduduki posisi dalam kepengurusan BSG sebagai representasi dari Provinsi Gorontalo dan kalau kedepan terjadi konsolidasi sesama pemegang saham pemerintah daerah se Gorontalo bisa jadi sama seperti PTMC mereka juga akan meminta dua orang untuk duduk dalam kepengurusan BSG.

Berita Terkait:  Hadirkan Ratusan anak Yatim BI Sulut Gelar Bukber dan  Sosialisasikan CBP dan QRIS

Kalau jumlah pengurus BSG tetap seperti sekarang ini berjumlah delapan orang maka porsi yang tersisa tinggal empat yang akan mengisi ruang kepemimpinan BSG ke depan untuk dibagi oleh pemerintah provinsi Sulut dalam posisinya sebagai PSP.

Akan tetapi yang menjadi catatan bagi Gubernur Sulut yang akan datang bahwa PSP dia juga harus memperhatikan betul aspirasi kewilayahan lokal Sulawesi Utara karena biasanya isu tentang keterwakilan kewilayahan lokal Sulawesi Utara masih juga menjadi isu dalam kamar tersendiri dalam setiap RUPS ataupun RUPS-LB BSG.

Secara historis suksesi kepengurusan BSG dari waktu ke waktu disamping isu diatas selalu saja dibarengi dengan menguatnya isu Bolmong Raya, Nusa Utara yang juga selalu meminta ada representasinya dalam kepengurusan dan sampai pada posisi tersebut sangatlah wajar karena mereka semua juga adalah pemegang saham yang memiliki hak untuk bersuara dan mengambil keputusan.

3. Peta Politik Lokal

Sebagai sebuah fakta bahwa kemenangan YSK-Victory sebagai Gubernur terpilih tahun 2025-2030 relatif berbeda dengan Kemenangan ODSK pada 10 tahun terakhir.

Saat ODSK menang misalnya pada 5 tahun terakhir menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur ada sebanyak 13 Kabupaten Kota juga dikuasai oleh usungan PDIP atau partai yang sama dengan yang mengusung ODSK.

Karenanya isu lokal tentang peta dan komposisi politik tak terlalu menjadi masalah bagi ODSK sebagai PSP untuk mengendalikan kepentingan politik lokal (kab/kota di Sulut) sehubungan dengan kepengurusan BSG dan ini berbeda dengan kemenangan YSK-Victory yang tidak diikuti oleh kemenangan mayoritas Kab/Kota lainnya (sebagai catatan 9 kab/kota dari 15 masih dikuasai oleh PDIP).

Jadi dari yang tersisa empat orang yang akan menduduki posisi sebagai pengurus BSG kedepan tarik-menariknya akan cukup kuat dan disinilah kecanggihan dan kematangan dari politik akomodatif sebagai Gubernur terpilih (PSP) dinantikan perannya karena kalau tidak clear maka secara internal BSG akan banyak kendala non tehnis tapi strategis yang bisa menekan dan akan mengganggu kinerja kepengurusan BSG kedepan dan itu bukan sesuatu yang sederhana.(bersambung)

 

Komentar