AGUSTUS adalah bulan bersejarah bagi Indonesia, karena pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Proklamasi ini menginspirasi semangat kemerdekaan yang meluas ke seluruh pelosok tanah air, membangkitkan tekad untuk membangun Indonesia yang bebas dari penjajahan.
Namun, kemerdekaan yang diraih saat itu lebih bersifat politis, belum sepenuhnya mencakup kemerdekaan ekonomi, sosial, moral, dan budaya. Indonesia meraih kemerdekaan melalui perjuangan para pahlawan, bukan melalui pemberian dari negara lain atau kelompok elit dunia. Dengan perjuangan keras, Indonesia berdiri tegak di atas tanah air yang dipertahankan dengan darah, nyawa, dan air mata para pejuang bangsa.
Setelah proklamasi, bangsa ini mulai merumuskan fondasi negaranya melalui proses yang panjang. Diskusi intensif dilakukan, melibatkan berbagai pemikiran, ide serta gagasan dari para pendiri bangsa hingga akhirnya lahirlah Pancasila dan UUD 1945. Keduanya menjadi dasar dan falsafah yang menuntun perjalanan bangsa ini ke depan. Mereka menjadi simbol dari semangat perjuangan dan cita-cita yang hendak dicapai: keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, seiring berjalannya waktu, kemerdekaan yang diraih dengan susah payah itu tampaknya tidak serta-merta menjadikan bangsa ini dewasa dan bijaksana. Kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh penjajah malah menjadi celah bagi beberapa elit bangsa untuk melanjutkan bentuk kekuasaan yang lebih parah kekuasaan yang hanya menguntungkan diri dan kelompoknya sendiri, penulis mengistilahkan dengan Neokolonialisme “Sopan santun”. Penindasan, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap rakyat mulai marak, tidak lagi oleh penjajah asing, tetapi oleh para pemimpin bangsa sendiri. Ironisnya, rakyat harus berhadapan dengan “penjajah” yang memiliki wajah, kulit, bahasa, dan keturunan yang sama. Hanya saja, mereka mewarisi watak dan karakter dari penjajah yang telah diusir.
Di masa itu, bangsa ini mengalami transisi. Masa Orde Lama yang penuh ketidakstabilan kemudian digantikan oleh Orde Baru, sebuah rezim yang lebih kuat namun represif. Namun, Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat yang menuntut reformasi. Reformasi yang diharapkan menjadi angin segar, justru membawa hawa panas yang menyesakkan. Alih-alih memperbaiki keadaan, reformasi malah memperlihatkan betapa bejatnya para elite bangsa yang ternyata tak jauh berbeda dengan dua rezim sebelumnya. Hanya saja, di era reformasi ini, semuanya menjadi lebih “sopan”. Aturan-aturan baru dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memastikan kekuasaan tetap berada di tangan mereka yang berkuasa. Orang-orang yang dulu lantang meneriaki dan menjatuhkan Orde Baru kini malah bersekongkol dengan rezim penguasa, bahu-membahu menindas rakyatnya sendiri.
Kritik tajam yang dulu menjadi ciri khas pemuda dan kaum terpelajar kini terbungkam oleh doktrin baru: egoisme dan individualisme. Bahkan, tak jarang dari mereka yang menjadi “pelacur intelektual”, menjual ilmu pengetahuannya kepada penguasa demi kepentingan pribadi. Ormas-ormas agama yang dahulu menjadi benteng moral dan garda terdepan dalam memerangi amoralitas penguasa bangsa, kini justru membuka lebar-lebar mulutnya untuk disuap oleh kekuasaan melalui iming-iming jabaran dan konsesi tambang. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung rakyat kini berubah menjadi “peliharaan” yang jinak di hadapan rezim penguasa, bahkan ikut menyerang rakyat yang seharusnya mereka lindungi.
Belum lagi para cukong dan taipan yang memodali para politisi untuk menduduki parlemen dan pemerintahan, agar mereka dapat dengan mudah mengontrol kebijakan yang menguntungkan mereka. Para politisi wakil rakyat ini, yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, justru menjadi peliharaan jinak di depan para pemilik modal besar. Mereka tidak lagi menjadi wakil rakyat, melainkan boneka yang digerakkan oleh kekuatan uang dan kepentingan pribadi.
Dalam kondisi yang demikian, rakyat kian terpuruk. Harga bahan pokok terus meroket, pajak dinaikkan, tanah adat dirampas dengan dalih “tanah milik negara”, media dibungkam, akal kritis disopansantunkan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan semakin sulit dan mahal. Lapangan kerja semakin terbatas, sementara rumah-rumah rakyat digusur demi kepentingan tambang dan proyek-proyek prioritas nasional. Kemiskinan merajalela, aturan-aturan disesuaikan dengan pesanan penguasa, seringkali mengubah undang-undang demi kepentingan keluarga dan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Sementara itu, moralitas dan etika generasi muda kian hancur, kerap dipertontonkan melalui berbagai media.
Dalam situasi seperti ini, ke mana lagi rakyat harus menggantungkan harapan? Para pemimpin dan penguasa yang seharusnya melindungi dan menyejahterakan rakyat justru bersekongkol dengan para pemodal untuk menjarah tanah dan laut rakyat Indonesia. Para politisi dan wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat kini hanya peduli pada kekayaan dan kekuasaan mereka sendiri. Para pengusaha dan taipan yang seharusnya mendorong perekonomian rakyat justru sibuk memperkaya diri dengan mengeruk sumber daya alam tanpa mempedulikan dampak buruk pada lingkungan dan sosial. Para tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan moral kini justru tunduk kepada penguasa demi keuntungan pribadi. Bahkan, para intelektual kampus yang seharusnya menjadi pelopor perubahan dan agen pencerahan malah terjebak dalam lingkaran kepentingan dan kekuasaan.
Bangsa ini, telah menyambut Neokolonoalisasi Sopan Santun. Bangsa yang dahulu meraih kemerdekaan dengan susah payah, kini kembali terjajah oleh anak-anak bangsanya sendiri. Meskipun proklamasi telah diumandangkan pada tahun 1945, perjuangan untuk merdeka sepenuhnya belum usai. Kemerdekaan politik yang diraih tidak serta-merta membawa kemerdekaan ekonomi, sosial, budaya dan moral banhsa. Penjajahan baru muncul dalam bentuk yang lebih halus, tetapi dampaknya tak kalah mematikan. Ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi kini dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyat.
Neokolonialisme sopan santun adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bentuk baru dari penjajahan di dekade terakhir ini, di mana kontrol dan dominasi dilakukan melalui cara-cara yang lebih halus, namun tetap tak kalah menindas dari metode kolonial yang lama. Di Indonesia, meski kemerdekaan secara politik telah diraih 79 tahun lalu, bentuk neokolonialisme ini justru semakin terasa. Ironisnya, penjajah yang kini berperan adalah pemimpin-pemimpin bangsa sendiri, yang dengan rapi dan terstruktur, menjajah rakyat melalui kekuasaan yang mereka miliki.
Neokolonialisme ini tidak lagi dilakukan dengan kekerasan fisik atau penjajahan militer, tetapi melalui kebijakan, regulasi, dan sistem yang secara tidak langsung mengendalikan kehidupan rakyat. Dalam sistem ini, rakyat diperlakukan sebagai objek yang harus diatur, dikendalikan, dan diperas untuk kepentingan segelintir elit. Mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, malah berperan sebagai penguasa yang menekan, memanipulasi, dan mengeksploitasi rakyat.
Bentuk neokolonialisme yang dilakukan oleh para penguasa ini sangat “sopan santun.” Aturan dan kebijakan dibuat dengan alasan “demi kebaikan rakyat” atau “untuk kepentingan bersama,” tetapi pada kenyataannya, semua itu hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri serta kelompoknya. Para pemimpin ini mungkin tidak lagi mengangkat senjata, tetapi mereka menggunakan alat-alat hukum, ekonomi, dan politik untuk menindas rakyat dengan cara yang lebih canggih dan halus.
Sikap sopan santun ini tercermin dalam berbagai kebijakan yang merugikan rakyat kecil. Misalnya, kenaikan pajak yang memberatkan, penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan, atau pengetatan aturan hukum yang hanya menguntungkan mereka yang berada di puncak kekuasaan bahkan mengubah Undang-undang demi kepentingan pribadi lingkar kekuasaan. Semua ini dilakukan dengan dalih menjaga stabilitas, keamanan, dan pembangunan, namun yang sebenarnya terjadi adalah rakyat semakin tertekan dan terpinggirkan.
Lebih parahnya lagi, para pemimpin ini kerap berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi global, para taipan, dan investor asing, yang dengan mudahnya menguasai sumber daya alam dan ekonomi Indonesia dengan dalih hilirisasi. Dalam konteks ini, neokolonialisme yang dilakukan tidak hanya menguntungkan elit lokal, tetapi juga memperkuat dominasi ekonomi asing di tanah air kita. Rakyat menjadi korban, sementara kekayaan alam Indonesia dieksploitasi untuk keuntungan pihak luar.
Neokolonialisme sopan santun ini juga merusak moral dan integritas bangsa. Para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan malah menunjukkan perilaku yang korup, munafik, dan egois. Mereka berbicara tentang keadilan dan kesejahteraan, tetapi di balik layar mereka bekerja sama dengan pihak-pihak yang menindas rakyat. Dalam keadaan seperti ini, rakyat kehilangan kepercayaan dan harapan, melihat bahwa mereka tidak lagi memiliki perlindungan dari orang-orang yang seharusnya melayani mereka.
Pada akhirnya, bentuk neokolonialisme sopan santun ini justru lebih berbahaya dibandingkan dengan penjajahan fisik. Penindasan dilakukan dengan cara-cara yang sulit diidentifikasi, dikritik, atau dilawan, karena semuanya dikemas dalam balutan aturan, hukum, dan kebijakan yang tampaknya “legal” dan “sah.” Rakyat perlu lebih waspada dan kritis, karena kemerdekaan yang sesungguhnya belum sepenuhnya tercapai. Mereka harus menyadari bahwa penjajahan yang kini mereka hadapi bukan lagi dari luar, tetapi dari dalam , dari para pemimpin yang seharusnya melindungi, tetapi justru menindas mereka.
Dalam kondisi yang semakin sulit ini, perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan harus terus dilanjutkan. Rakyat tidak boleh menyerah, tidak boleh berhenti berjuang. Mereka harus tetap kritis, tetap berani menyuarakan kebenaran, dan tetap teguh dalam mempertahankan hak-hak mereka. Karena pada akhirnya, kemerdekaan sejati adalah ketika setiap rakyat Indonesia dapat hidup dengan bermartabat, tanpa rasa takut, tanpa penindasan, dan tanpa ketidakadilan.
Perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan sejati ini bukanlah tugas yang mudah. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa bangsa ini memiliki kemampuan untuk bangkit dan melawan ketidakadilan. Dari masa penjajahan hingga era reformasi, rakyat Indonesia selalu mampu menemukan cara untuk melawan penindasan. Kini, di era yang penuh tantangan ini, semangat itu harus kembali dibangkitkan. Semangat untuk memperjuangkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang merdeka. Namun, kemerdekaan itu harus terus dipertahankan dan diperjuangkan. Bukan hanya kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Karena kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga negara Indonesia dapat hidup dengan bermartabat, bebas dari ketakutan, dan bebas dari penindasan. Itulah cita-cita yang harus terus diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Mengutip petuah Guru kita Buya Syafi’I Ma’arif: “Tetap cintailah Indonesia, meskipun ia sering menyakiti hatimu”, marilah berjuang dengan segenap kemampuan yang kita sebagai anak bangsa miliki, dan seperti juga yang dituturkan oleh Buya: “Indonesia harus tetap bertahan, hingga satu hari sebelum kiamat.,”.(***)
Selamat HUT Ke-79 Republik Indonesia, Merdeka!!!
Komentar