SHADOW OF “PARTAI COKLAT” DI PILKADA 2024

(Kebutuhan Puncak Reformasi Polri)

Oleh: Abid Takalamingan

A-Times.id- Masih segar dalam ingatan kita, Pilkada serentak 2024 memberi pelajaran penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia.

Di tengah antusiasme rakyat memilih pemimpinnya, muncul kegelisahan yang tak bisa diabaikan: menurunnya netralitas aparat penegak hukum, khususnya manuver yang dimainkan oknum yang bernaung di institusi kepolisian.

Fenomena keterlibatan oknum Polri dalam politik lokal bahkan melahirkan istilah baru di ruang publik: “partai coklat”, merujuk pada warna seragam polisi yang kini diasosiasikan dengan kepentingan politik tertentu. Istilah ini bukan sekadar satire, melainkan sinyal adanya gangguan serius terhadap integritas demokrasi lokal.

Krisis Netralitas dan Kepercayaan Publik

Pilkada 2024 menjadi cermin bahwa sebagian aparat masih sulit menjaga jarak dari kekuasaan. Di beberapa daerah, dukungan terselubung kepada kandidat tertentu bukan lagi rumor.

Wujudnya beragam mulai dari pembiaran terhadap pelanggaran, keberpihakan dalam penegakan aturan, hingga pengaruh dalam dinamika penentuan kebijakan di tingkat lokal.

Ketika polisi yang seharusnya menjadi wasit justru terlibat dalam permainan, demokrasi kehilangan integritasnya. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi penegak hukum, dan politik lokal berubah menjadi ajang transaksional yang tak lagi sehat.

Netralitas Polri sejatinya adalah benteng terakhir agar demokrasi tetap memiliki keadilan prosedural. Begitu benteng itu runtuh, maka keadilan substantif ikut roboh karena dia kehilangan pijakan. Inilah yang membuat gagasan reformasi Polri kembali mengemuka—bukan sebagai wacana, tetapi sebagai kebutuhan nasional yang mendesak.

Reformasi yang Tertunda

Setelah reformasi 1998, Polri dipisahkan dari TNI dengan tujuan agar menjadi institusi sipil yang profesional, transparan, dan berorientasi pelayanan. Akan tetapi setelah lebih dari dua dekade, cita-cita itu belum terwujud kalau tidak baik dikatakan melenceng.

Kultur kekuasaan masih kuat melekat dalam tubuh kepolisian. Struktur yang sangat hierarkis dan kedekatan dengan elite politik menjadikan Polri rentan ditarik dalam orbit kepentingan tertentu. Sementara itu pada saat yang bersamaan sistem pengawasan internal belum sepenuhnya menjamin harapan reformasi dalam hal akuntabilitas.

Kompolnas yang seharusnya menjadi lembaga pengawas independen yang mumpuni hanya terbatas pada peran administratif. DPR pun lebih sering berfungsi politis ketimbang substantif dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap Polri. Akibatnya, ruang penyimpangan tetap terbuka lebar.

Mendesak:
Reformasi Struktural dan Kultural

Syukur saja pasca kemarahan rakyat pada 25 Agustus 2025 lalu Prabowo sebagai orang nomor satu di negeri ini menyadari betul bahwa merespon desakan sivil society dalam soal Polri harus menjadi prioritas. Reformasi Polri atau lebih tepat disebut transformasi nilai sipil Polri (meminjam istilah Rocky Gerung) harus dijalankan secara sungguh-sungguh dan tak bisa ditunda lagi jika ingin perbaikan bagi bangsa ini.

Reformasi atau transformasi nilai sipil harus terjadi secara menyeluruh—baik dalam aspek struktur, sistem, maupun kultur kelembagaan. Jika tidak political will Prabowo mba puisi yang menegangkan tapi akan berlalu disaat panggung teatrikal berakhir.

Dalam kaitan tersebut maka menurut hemat penulis, ada beberapa langkah penting yang perlu segera ditempuh dalam agenda tranformasi Polri.

Pertama ; Perkuat pengawasan eksternal.
Kompolnas dan lembaga pengawas lain harus diberi kewenangan lebih kuat untuk menindak pelanggaran secara nyata, bukan sekadar memberi rekomendasi.

Kedua ; Tata Ulang sistim Rekruitmen dan Promosi.
Rekruitmen jauhkan dari sogokan atau pelicin, promosi jabatan harus diberikan berdasarkan meritokrasi dan integritas, bukan kedekatan pribadi dan politik, dan transparansi dalam proses ini mutlak harus dibuka agar publik bisa berpartisipasi dalam memantau.

Keempat ; Reformasi pendidikan kepolisian.
Orientasi pendidikan harus diubah dari paradigma kekuasaan ke paradigma pelayanan publik. Etika, netralitas, dan empati sosial harus menjadi inti dari kurikulum kepolisian, bukan otot dan senjata.

Kelima ; Pembatasan interaksi politik.
Setiap anggota Polri, di level mana pun, harus dilarang keras terlibat dalam politik praktis, baik secara langsung maupun melalui jaringan informal. Kejelasan aturan dan sanksi tegas adalah kuncinya.

Keenam ; Penghargaan berbasis integritas.
Penghargaan tidak lagi diberikan karena loyalitas kepada atasan, tetapi karena prestasi dan keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Menyembuhkan Luka Demokrasi Lokal

Fenomena “partai coklat” pada Pilkada 2024 bukan sekadar isu citra, tetapi refleksi dari luka kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Jika dibiarkan, luka ini akan semakin dalam dan berpotensi merusak legitimasi demokrasi di tingkat akar rumput.

Kepolisian harus berdiri tegak di atas semua golongan, menjaga hukum, dan memastikan demokrasi berjalan dalam koridor keadilan. Selama aparat masih terbelah dalam faksi kepentingan, selama itu pula demokrasi kita akan tetap pincang.

Kini, setelah dua dekade lebih reformasi berjalan, tranformasi nilai sipil ditubuh Polri adalah kebutuhan puncak bangsa.

Semua itu bukan untuk melemahkan institusi, tetapi justru untuk menyelamatkannya dari erosi kepercayaan dan penyimpangan peran.

Sebab, tanpa Polri yang netral, bersih, dan profesional—keadilan hanyalah jargon, dan hukum hanya akan berpihak kepada mereka yang punya kuasa.

Wallahu’alam.

Wallahu’alam.

Abid Takalamingan,
Pemerhati kebijakan publik dan sosial politik, berdomisili di Sulawesi Utara.