Mengenang 100 Tahun Soeharto

A-TIMES.ID, JAKARTA – Presiden kedua RI Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 8 Juni 1921.

Pada hari ini (kemarin,red) 8 Juni 2021, tepat 100 tahun hari kelahiran Presiden Indonesia yang paling lama menjabat, yaitu 32 tahun itu.

Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008 usai menjalani perawatan selama 23 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan.

Saat itu, diketahui Soeharto mengalami kegagalan multiorgan. Presiden yang selama 32 tahun menjabat Indonesia ini dimakamkan di Astana Giribangun yang terletak di lereng barat Gunung Lawu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Peringatan seabad Soeharto Pada momen 100 tahun kelahiran Soeharto, keluarga besar Presiden kedua RI Soeharto digelar sore kemarin di Masjid At-Tin, Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.

“Peringatan 100 tahun Kelahiran Jenderal Besar HM Soeharto, berbagai kalangan masyarakat berkumpul di Masjid At Tin pada Selasa sore 8 Juni 2021, memanjatkan doa bersama untuk almarhum Pak Harto, serta membacakan Yasin, tahmid, dan tahlil,” kata panitia melalui keterangan resmi.

Soeharto merupakan putra dari Kertosudiro, seorang petani sekaligus asisten lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Semasa kanak-kanak, Soeharto mulai mengenyam pendidikan saat berusia 8 tahun.

Awalnya, ia disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Kemudian, ia pindah ke SD Pedes, karena sang ibu dan suaminya, Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Kertosudiro memindahkan Soeharto ke sekolah di Wuryantoro. Soeharto saat itu dititipkan di rumah adik perempuan Kertosudiro.

Masuk TNI Beranjak dewasa, Soeharto sempat terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Ia juga resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.

Berita Terkait:  PDIP Tak Takut Relawan Projo yang Hadiri Acara KIB

Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah, anak Wedana pegawai Pura Mangkunegaran, Surakarta. Pernikahan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo, di mana saat itu Soeharto berusia 26 tahun dan Hartinah berusia 24 tahun.

Setelah menikah, pasangan ini dikaruniai enam anak, yakni: Siti Hardiyanti Hastuti Sigit Harjojudanto Bambang Trihatmodjo Siti Hediati Herijadi Hutomo Mandala Putra Siti Hutami Endang Adiningsih.

Perjalanan karir militer Di kemiliteran, Soeharto memulai karirnya dari pangkat sersan tentara KNIL. Kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.

Pada tahun 1949, Soeharto menjadi bagian yang berhasil merebut kembali Kota Yogyakarta dari Belanda. Ia juga pernah menjadi pengawal Panglima Besar Soedirman. Selain itu, Soeharto juga pernah menjadi Panglima Mandala saat peristiwa Pembebasan Irian Barat.

Pada 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat saat meletusnya kejadian G-30S/PKI. Selain dikukuhkan sebagai Panglima Angkatan Darat (Pangad), ia ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno.

Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Dalam surat itu, Soeharto diberi mandat untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban di dalam negeri setelah peristiwa G30S/PKI pada 1 Oktober 1965. Namun hingga kini, Supersemar masih menjadi kontroversi. Sebab, naskah aslinya tak pernah ditemukan. Dalam pidato yang disampaikan pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyebut mengenai Supersemar, yang juga jadi bukti keberadaannya.

Namun, Soekarno membantah telah memberikan surat kuasa untuk memberikan kekuasaan kepada Soeharto. “Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak,” kata Soekarno dalam pidato berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau dikenal dengan sebutan “Jasmerah”. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Soeharto.

Berita Terkait:  Menkeu Jadikan NIK Sebagai NPWP

Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno, untuk membubarkan PKI.

Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan frasa “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi”. “Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu,” tutur Asvi. Dikutip dari arsip Harian Kompas 11 Maret 1971, Soeharto yang saat itu menjabat Presiden RI mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan.

“Saya tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung,” kata Soeharto.

Meskipun demikian, pasca Supersemar popularitas Soeharto terus menanjak, sementara sebaliknya kekuasaan Presiden Sukarno mulai meredup. Akhirnya, pada 7 Maret 1967, Soekarno melepas jabatannya. Soeharto ditunjuk untuk menjadi penjabat presiden lewat Sidang MPRS. Soeharto resmi menjabat dan dilantik sebagai Presiden RI pada 27 Maret 1968.

Mengundurkan diri Di masa pemerintahannya, Soeharto bertugas sebagai presiden dengan lama menjabat 32 tahun dengan enam kali terselenggaranya Pemilu. Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah mendapatkan desakan dari ribuan mahasiswa yang memadati gedung DPR/MPR. (***)

Komentar