3 Tahun Aliansi Perempuan Bangkit

Penulis : Gerakan Perempuan Sulut

 

“Hentikan memproduksi Kebijakan dan UU yang melanggar prinsip-prinsip Negara Hukum, HAM dan Demokrasi serta tidak berkontribusi pada Keadilan Sosial, Gender dan Ekologi”

Dalam perspektif UUD NKRI 1945, lembaga-lembaga negara di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif wajib mentaati konstitusi dan berkewajiban menjalankan konstitusi untuk mewujudkan keadilan sosial, gender dan ekologis sebagai cita kemerdekaan sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan dan pasal-pasal didalamnya.

Namun beberapa tahun terakhir ini Aliansi Perempuan Bangkit, sebuah wadah bagi para aktivist dan advokat hak perempuan dari berbagai profesi dan bidang perhatian, mencermati bahwa cita negara hukum HAM dan Demokrasi itu pelaksanaannya semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan tsb . Kelompok marginal, buruh, tani dan pekerja rumah tangga dan terutama perempuan dan anak-anak, kelompok difabel dan lansia semakin tertinggal jauh di belakang sehingga janji dan komitmen pokok pemerintah Indonesia dalam SDGs yakni “leaving no one behind” makin diragukan mampu dicapai oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2030 nanti.

Pandemi Covid 19 dan segala variasinya semakin memperburuk kondisi kehidupan rakyat dg bertambahnya jumlah kelompok miskin atau banyak ya buruh yang di PHK dan kaum perempuan menderita paling banyak dari kondisi ini. Sebaliknya di tengah Pandemi, jumlah orang kaya dan super kaya Indonesia malah bertambah ( Kompas.com, 17 Juli 2022). Sebuah kontras yg menuntut penelitian lebih jauh mengapa ironi ini terjadi. Yang jelas, UU nomor 1/2020 yang mengalihkan APBN untuk penanganan pandemi, lebih banyak menguntungkan penguasa dan pemilik modal namun sedikit saja dinikmati oleh kelompok miskin yg kebijakannya lebih karitatif berupa bansos daripada memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial dan politik. Disinyalir juga bahwa banyak pejabat negara yang di untung kan pula dari bisnis PCR dan vaksin.

Di tengah kesulitan hidup yang dihadapi masyarakat akibat struktur ekonomi yang timpang, kebijakan ekonomi yg tdk berpihak antara lain terjadinya kenaikan BBM dan bahan pokok serta akibat pandemi berkepanjangan, pemerintah dan DPR malah mengeluarkan UU Cipta Kerja yg dikenal sbg Omnibus Law, UU Pemindahan dan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) serta UU Minerba yang lebih memfasilitasi kelompok pengusaha dari pada memberdayakan masyarakat luas khususnya masyarakat adat dan masyarakat terdampak pembangunan, masyarakat marginal, kaum buruh, tani dan nelayan serta mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Pemerintah dan DPR bahkan tidak patuh kepada putusan MK yang memerintahkan agar tidak memberlakukan Omnibus Law dan dlm 2 tahun harus mengubahnya agar lebih partisipatif dalam proses nya dan memenuhi standar HAM dalam isi pasal-pasalnya. Pemerintah dan DPR sangat cepat merespon dan membuat sebuah UU jika menguntungkan penguasa dan pemilik modal, namun sangat lamban jika berkaitan dg kelompok rentan spt pekerja rumah tangga (PRT) yg rancangan UU nya sudah diajukan oleh masyarakat sipil sejak 19 th yang lalu dan pada bulan Maret 2022 sudah disetujui Baleg DPR namun belum juga diagendakan dalam sidang paripurna untuk dibahas.

Dalam melahirkan KUHP baru pemerintah dan DPR meski menyatakan bhw KUHP Nasional ini bermaksud menggantikan KUHP warisan pemerintah kolonial yang dianggap repressif namun dari segi isi terutama yang terkait dengan asas pokok hukum pidana yakni asas legalitas dan asas melindungi kepentingan umum khususnya terkait dengan penghinaan terhadap presiden, lembaga negara dan pejabat publik serta pengaturan moralitas, seksualitas dan tubuh perempuan telah melanggar asas kepentingan umum tsb. Dengan memberlakukan asas living law ( adat, budaya dan tradisi se tempat ) maka hak dan kebebasan berekspressi dan hak privasi menjadi sangat terancam. Para pembentuk UU tampaknya mengadopsi ide pengaturan seksualitas dan moralitas masyarakat yang telah diadopsi oleh kurang lebih 420 perda yang selama ini di abaikan begitu saja oleh pemerintah cq Menteri Dalam Negeri meski telah lama dikritik oleh banyak pihak sebagai melanggar konstitusi dan hukum nasional lainnya. Dalam KUHP yang baru ide dasar perda2 tsb tidak hanya diadopsi tapi bahkan secara hukum diperkuat pemberlakuannya ( penjelasan pasal 1) meski dalam KUHP kewenangan mengadu diletakkan kepada keluarga ( suami/istri serta orangtua atau anak) dan tidak lagi diberikan kpd komunitas atau tokoh masyarakat sebagaimana yang diatur oleh perda-perda tsb.

Mencermati berbagai perubahan kebijakan dan produk perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif beberapa tahun terakhir, Aliansi Perempuan Bangkit melihat adanya bahaya serius yang mengancam prinsip-prinsip negara hukum, HAM dan Demokrasi sehingga tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial, gender dan ekologi makin jauh dari cita2 kemerdekaan. Sementara KKN tampak semakin merajalela sehingga memperlihatkan bhw pemerintah saat ini tidak amanah terhadap mandat reformasi 98 dan konstitusi. Hal ini terbukti dari lambannya kenaikan Index negara hukum Indonesia yang hanya 0,01 % ( World Justice Project 2022). Sedangkan menurut Global Democracy Index, demokrasi Indonesia tidak sedang baik-baik saja ( flawed dwmocracy).Karena itu ide penguasa dan pendukungnya untuk menunda pemilu dan memperpanjang jabatan presiden selain bertentangan dg konstitusi juga sudah pasti tidak berkontribusi pada perbaikan kualitas demokrasi dan rule of law di Indonesia.

Berita Terkait:  Rektor Ellen Apresiasi Dies Natalis Fatek ke -58

Index korupsi Indonesia menunjukkan trend memburuk pada tahun 2020 krn turun dr 40 pada tahun 219 menjadi 37 meski naik menjadi 38 pd th 2021. Secara global kita masih di bawah skor rerata (43). Negara2 dg skor di bawah 50 pada umumnya adalah negara dg tingkat korupsi yg mengakar dan sistemik. Kelompok perempuan adalah kelompok yg paling dirugikan oleh praktik korupsi ini meski hal ini merupakan fenomena global. Korupsi juga menjadi sarana atau jalan masuk bagi kejahatan-kejahatan lain yg korbannya perempuan. Dalam studi ttg trafficking thd perempuan di Sulawesi Selatan praktik korupsi terbukti melicinkan atau melancarkan praktik trafficking. Misalnya melalui praktik suap dlm pemalsuan data kependudukan. Yang sangat mencemaskan adalah maraknya praktik sextortion di Indonesia. Penyalahgunaan kewenangan publik melalui pemerasan/pemaksaan untuk mendapatkan kenikmatan seksual banyak terjadi di Indonesia. Menurut survei Transparency International dalam Global Corruption Barometer 2021, Indonesia adalah negara dengan kejadian sextortion tertinggi di Asia..

Aliansi Perdmpuan Bangkit mengusulkan berbagai perubahan dan perbaikan terutama pengesahan kebijakan yang tertunda, penundaan atau pembatalan kebijakan yang tidak tepat, juga pelibatan aktif perempuan, kelompok marjinal dan masyarakat sipil dalam semua proses kebijakan dari awal sampai pengawasan, agar ancaman dan bahaya yang disampaikan di atas bisa segera diatasi dengan komprehensif oleh pemerintah bersama pelaku usaha dan masyarakat.

Berdasarkan alasan2 diatas Aliansi Perempuan Bangkit menuntut:

Pertama, agar pemerintah dan DPR menghentikan produksi berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang menegasikan hak asasi rakyat dan tidak memberdayakan masyarakat secara sosial ekonomi dan budaya baik dlm prosesnya yang tidak partisipatif maupun materi pokoknya seperti misalnya dalam membahas dan mensahkan KUHP, Omnibus Law dan UU Minerba serta tdk memperhatikan hak masyarakat atas lingkungan dan sumberdaya alam serta mengabaikan hak masyarakat adat. Dalam kaitan ini Aliansi Perempuan Bangkit mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mensahkan UU Perlindungan Hak Masyarakat Adat.

Kedua, secara khusus Aliansi Perempuan Bangkit sangat berkeberatan dan memprotes keras terhadap ketentuan dalam KUHP ttg akan diberlakukannya hukum adat dan tradisi setempat ( “living law”). Beragamnya tradisi, adat dan nilai 330 suju yang ada di Indonesia akan menimbulkan banyak komplikasi dalam pelaksanaan dan pembuktiannya dan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat pun akan sukit dicapai. Ketentuan tsb melanggar prinsip-prinsip negara hukum yang dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945.

Aliansi Perempuan Bangkit itu juga menentang pasal2 tentang penghinaan kpd Presiden, lembaga negara dan pejabat pemerintah serta hak menyatakan pendapat ( pawai, demonstrasi, unjuk rasa) krn bertentangan dengan hak berkumpul dan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 serta berbagai konvensi Internasional yang telah diratifikasi. Demikian pula pasal-pasal yang melanggar hak privasi misalnya pasal2 tentang perzinahan, kohabitasi serta prinsip integritas tubuh khususnya tubuh perempuan ( larangan aborsi). Ketentuan bahwa pasal2 tsb adalah delik aduan sangat bertentangan dengan tujuan utama hukum pidana yakni menjaga kepentingan umum karena menggantungkan pelaksanaan hukum pidana pada seseorang yang merasa dirugikan dan atau yang mengadu. Dengan demikian jelas bahwa upaya untuk menjaga kepentingan umum tsb tidak terpenuhi. Demikian pula dg pasal penghinaan presiden yang juga merupakan delik aduan selain merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan upaya pembungkaman hak rakyat untuk menyatakan pendapat juga tidak memenuhi tujuan hukum pidana dan bertentangan dengan essensi kepentingan umum itu sendiri.

Aliansi Perempuan Bangkit juga merasa prihatin atas diberlakukannya pasal-pasal yang berkaitan dengan perzinahan dan kohabitasi, pemerintah dan DPR tampaknya sekedar mengadopsi ide dasar ratusan perda dikriminatif yang oleh Komnas Perempuan dan para peneliti lainnya dinyatakan sangat bertentangan dg konstitusi, anti keragaman gender dan seksualitas serta mengancam hak hidup dan kehidupan kelompok seksual minoritas yang merupakan warga sah NKRI. Namun selama ini perda-perda tsb dibiarkan saja oleh menteri dalam negeri sbg pihak yang berwenang melakukan beaurocratic review. Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar DPR melakukan legislatif Review penjelasan pasal 1 KUHP atas keberlakuan perda2 ini dan mencabut atau menyatakan perda-perda ini tidak berlaku.

Ketiga, Aliansi Perempuan Bangkit mencermati bahwa akses perempuan terhadap pekerjaan yang layak sangat terbatas karena masih rendahnya pendidikan dan ketrampilan mayoritas perempuan terutama dari kelompok miskin sedangkan perlindungan pekerja rumah tangga yang merupakan solusi bagi sempitnya lapangan kerja formal yang tersedia tidak mendapat perhatian dan perlindungan sebagai pekerjaan yang layak sesuai dengan standart Konvensi ILO 189. Indonesia belum meratifikasi konvensi ini sementara RUU PPRT yang telah hampir 19 tahun lalu diajukan oleh masyarakat sipil dan telah disetujui oleh Baleg DPR untuk disahkan di sidang Paripurna untuk dibahas sampai saat ini belum juga diagendakan oleh Bamus. Aliansi Perempuan Bangkit mengecam pihak2 yang menghambat proses legislasi RUU PPRT ini serta sikap2 feodal mereka abai terhadap kelompok perempuan miskin dan marginal. Aliansi Perempuan Bngkit menuntut agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 189 dan mendukung sikap MUI dan KUPI yang telah mengeluarkan fatwa agar segera mensahkan RUU PPRT ini menjadi UU.

Berita Terkait:  Pemkot Mulai Tanamkan Toleransi Sejak Dini

Aliansi Perempuan Bangkit mencermati bahwa Omnibus Law cq UU Cipta Kerja, tidak sesuai dengan namanya karena justru memberikan legitimasi untuk memutuskan hubungan kerja dengan sewenang-sewenang termasuk pemotongan upah untuk cuti hamil. Demikian pula terkait RUU Omnibus Law Kesehatan yang akan memperbesar kontrol pemerintah thd profesi dan pelayanan kesehatan, karena itu Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar Omnibus Law tsb bukan hanya direvisi tapi harus dicabut.

Keempat, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk konsisten didalam menghormati dan mengimplementasi hak kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan termasuk memberikan fasilitas untuk pemberian ASI yang telah dijamin dalam UU Kesehatan termasuk menjamin para pekerja dan promotor hak kesehatan reproduksi yang dengan KUHP baru dapat dikriminalkan ( pasal tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan). Angka kematian ibu dan anak ( AKI dan AKA) yang masih tinggi disebabkan karena tidak diakuinya dan tidak dipenuhinya hak kesehatan reproduksi dan seksual karena kendala moral dan norma lainnya seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah untuk mengatasi. Kami juga meminta DPR untuk melakukan Monitoring atas kinerja pemerintah dalam hal penurunan AKI dan AKA termasuk masih banyak terjadinya perkawinan anak yang antara lain menyebabkan anak-anak stunting.

Kelima, Aliansi Perempuan Bangkit mohon perhatian atas implementasi UU PKDRT, UU TPPO, UU TPKS, khususnya sikap bias para aparat penegak hukum yg masih mengadopsi nilai2 patriarki dan tdk berpihak kepada korban. Menteri PPA, Komnas Perempuan dan Komnas HAM hendaknya melaksanakan mandatnya dg baik tidak saja untuk memonitor kapasitas aparat penegak hukum tapi juga mengimplementasikan pasal 5 CEDAW dan mengawasi pelaksanaan konsep restoratif justice yang di beberapa kasus justru memberi keuntungan kepada pelaku dan mengabaikan hak rehabilitasi korban.

Dalam kaitan UU TPKS, secara khusus Aliansi Perempuan Bangkit berharap agar peraturan pelaksanaan nya segera diterbitkan. Selain itu kami menuntut pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO nomor 190 ttg Penghapusan Pelecehan dan Kekerasan di tempat kerja.

Keenam, Aliansi Perempuan Bangkit, prihatin atas sistemik dan menguatnya KKN dan khususnya mohon perhatian agar pemerintah mengupayakan pemberantasan korupsi dg program2 preventif yang lebih masif termasuk memberi hukuman yang berat terhadap pejabat2 pemerintah yang melakukan sextortion.

Ketujuh, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut negara untuk menjamin proses demokrasi dengan memastikan terselenggaranya Pemilu 2024, dengan mitigasi potensi konflik yang sudah bermunculan dan memastikan pelibatan bermakna kelompok perempuan dan kelompok
minoritas dan kelompok rentan lainnya ( difabel dan lansia) dalam proses demokrasi. Agenda lima tahunan yang telah ditetapkan konstitusi dan UU terkait harus tetap berjalan dengan berbagai kondisi, karena menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden akan menimbulkan kerugian lebih besar bagi masyarakat dan negara Indonesia. Dalam kaitan dengan pemilu ini Aliansi Perempuan Bangkit juga menuntut pemerintah untuk memastikan keterwakilan perempuan sebanyak 30% di lembaga legislatif di semua tingkatan. Demikian pula sebagai pelaksanaan UU Partai Politik, pemerintah dan DPR harus memastikan keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.

Kedelapan, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk membatalkan atau setidaknya-tidaknya menunda pelaksanaan pembangunan IKN dan memprioritaskan pemulihan hak-hak dasar rakyat terutama hak atas tanah, lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan dan menghentikan eksploitasi sumber daya alam, memitigasi resiko bencana akibat krisis perubahan iklim, mengurangi dan pemulihan ekonomi rakyat pasca pandemi.

Kesembilan,Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar pemerintah memastikan proses demokratisasi yang menghormati prinsip keadilan sosial , gender dan ekologis, termasuk prinsip anti kekerasan dan non diskriminasi serta menghargai pluralisme dan prinsip-prinsip HAM. Secara khusus Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk memenuhi janji menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu dg berpegang pada prinsip2 transitional justice dan penghentian impunitas serta menghentikan kekerasan politik dan exploitasi sumberdaya alam di Papua.(*)

Komentar